Kartel adalah kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik dalam lingkup nasional maupun internasional, formal maupun informal. Berdasarkan definisi ini, satu entitas bisnis tunggal yang memegang monopoli tidak dapat dianggap sebagai suatu kartel, walaupun dapat dianggap bersalah jika menyalahgunakan monopoli yang dimilikinya. Kartel biasanya timbul dalam kondisi oligopoli, di mana terdapat sejumlah kecil penjual dengan jenis produk yang homogen.
kartel dilakukan oleh pelaku usaha dalam rangka memperoleh market power. market power ini memungkinkan mereka mengatur harga produk dengan cara membatasi ketersediaan barang di pasar. pengaturan persediaan dilakukan dengan bersama-sama membatasi produksi dan atau membagi wilayah penjualan. (Sumber: Wikipedia/Kartel)
------
Saya sendiri kurang memahami arti kata kartel, tapi jika merunut dari kelakuannya yang suka mengatur harga dan pasokan, sepertinya memang ada kartel dalam perdagangan komoditas singkong.
Ada dua golongan kartel dalam perdagangan singkong, yang pertama saya temukan dan pasti juga ditemukan oleh banyak orang adalah kartel yang berbasis kekuatan modal. Mereka sering disebut sebagai "raja kecil", yang dinobatkan sebagai raja oleh kekuatan modal dari berbagai pihak. Kekuasaan di lingkungan sosial si raja ditambah prajurit-prajurit setia, dan masih ditambah lagi dengan suntikan modal dari pabrik-pabrik besar, mampu membuatnya perkasa mengatur harga lokal komoditi singkong. Sayangnya kekuasaan yang dimiliki oleh si raja kecil adalah untuk menekan harga jual petani.Â
Dari golongan ini, sulit sekali kita memprofokasi petani untuk bangkit dan naik satu level dengan melakukan olah produk singkong menjadi produk-produk turunan yang lebih menguntungkan petani. Pabrikan pasti akan menghukum si raja kecil manakala jumlah pasokan kurang dari yang ditargetkan akibat adanya upaya-upaya peningkatan derajat petani tersebut.Â
Fenomena baru jaringan sub kartel dari golongan kartel pertama adalah dengan munculnya proyek-proyek penanaman dalam skala luasan yang sangat besar, umumnya di atas 10 hektar. Pendana penanaman biasanya sudah memiliki semacam kontrak pasokan dengan harga tertentu dari luasan yang ditanamnya. Ada janji keuntungan tentunya, tapi keuntungan buat pendana penanaman, bukan keuntungan buat penggarapnya, sementara si penggarap cukup mendapat "pujian" atas prestasi kerjanya yang diukur dari volume hasil panen. Belakangan saya sering mendengar keluhan dari penggarap maupun pendana ketika pabrikan tempat mereka mengharapkan keuntungan lebih suka menentukan harga minimal terendah (tapi saya belum bisa membuktikan).
Kedua, sekarang ini muncul kartel yang tidak berbasis modal. Golongan kartel ini sungguh sulit dideteksi "kantor pusatnya", saya menduga kartel ini merupakan bentuk perlawanan kepada golongan kartel pertama. Herannya, meskipun tidak mengandalkan permodalan, golongan kartel kedua ini mampu memporak porandakan golongan kertel pertama, dan yang lebih hebat lagi mampu membuat kelompok pabrikan pengguna bahan baku singkong kelimpungan, terutama untuk produsen tepung.
Kartel ini awalnya tidak dibangun, tapi terbangun dari ikatan emosional yang terjadi antara petani dan pedagang perantara. Bahwa akhirnya kekuatan kartel ini menjadi luar biasa, karena ada beberapa "tokoh", bukan raja kecil, yang dengan cerdiknya meneruskan kekuatan ikatan emosional tersebut diatas menjadi sebuah jaringan yang saling menguntungkan dan saling mendukung. Golongan kartel ini mampu memasok dengan baik kebutuhan sebuah pabrik, namun dengan serta merta mampu pula mematikan pasokan. Kartel ini tidak mengatur harga, mereka lebih banyak bersinergi dalam mengatur pasokan, sehingga memaksa pabrikan untuk bersaing memberikan harga terbaik.
Melalui golongan kartel kedua ini, berbagai program pemberdayaan bisa lebih mudah masuk, seperti program peningkatan produktivitas dan program-program pengolahan pasca panen produk singkong yang dilakukan sendiri oleh para petani. Satu-satunya yang memperlambat gerak cerdas golongan kartel kedua ini adalah permodalan, karena pada umumnya para pelaku kartel golongan kedua ini berangkat dari para petani dan pedagang sendiri, bukan pemodal apalagi dengan pembiayaan dari pabrikan seperti golongan kartel jenis pertama.
Perbedaan paling mencolok dari dua golongan kartel diatas adalah keberadaannya. Golongan kartel pertama biasanya terdiri dari orang-orang terhormat dengan bukti-bukti legalitas yang sempurna, sementara golongan kartel kedua lebih suka bergerak diam-diam cenderung bersembunyi. Mereka, golongan kartel kedua, seringkali terpaksa menjadi kambing hitam bagi kebangkrutan sebuah pabrikan atau jatuhnya para raja kecil.