Mohon tunggu...
Agung Triatmoko
Agung Triatmoko Mohon Tunggu... wiraswasta -

Sekedar menuliskan sesuatu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Apa dengan Saya, Dokter?

29 Februari 2012   05:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:45 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Arek'e telpon ambek  nangis-nangis, gak direken dokter mergo arek karaoke"

Masih saja hidup ini membutuhkan simbol-simbol untuk saling mengenali dan menghormati. Tidak sadarkah kita kalau bulan tidak pernah memilih langit sebelah manapun untuk tempatnya bersila, bahkan juga tak pernah memilih siapa pun untuk ia sinari, semua hanya atas kehendakNYA.

Rasa sakit, rasa senang atau rasa apapun, hadir tidak serta merta, tidak karena ia miskin, tidak karena ia kaya, tidak juga karena ia cantik dan rupawan, dan rasa adalah anugerah termulia dari sang Maha Kuasa atas takdir kita sebagai manusia.

Lantas... kenapa mesti kau lipat kehendakmu dalam rasa dan memberi rasa? hingga nampak begitu lucunya tingkahmu di antara hati dan jiwa-jiwa liar sepertiku.

"Ayaaaah....!!!", pesan singkat yang tidak mampu ku respon dengan sama singkatnya. Ku tunda jawaban hingga motor setia yang sedang mengantarku perjalanan menuju batas neraka dan sorga, menepi di tempat rimbunan pohon yang selalu berbaik hati tanpa memilih.

"Ada apa...?", tak bisa kuhindari pula untuk menyulut sebatang wismilak, karena ini pasti akan panjang.

"Aku ini sakit betulan, tapi aku jengkel sama dokternya", aku bayangkan mulut Keke yang bertambah lancip dengan sikapnya itu, belum lagi hidung mungilnya yang selalu membuatku ingin ketawa ketika memandangnya. Tapi kali ini aku sedang tidak ingin membayangkan wajah itu, pikiran ini mulai menerawang tentang hal buruk yang dilakukan si dokter terhadap anak perempuanku yang sedang sakit.

"Iya.... terus kenapa dengan dokternya???", kuhembuskan dengan kencang asap di mulut yang sebentar tertahan.

"Mosok aku nggak ditanyain apa-apa, langsung di kasih resep gitu aja"

"Hahahaha..... lha terus maumu diapain?", sejenak ketegangan mereda.

Rupanya itu cuma hiburanku sesaat, tanpa menunggu detik berikutnya berlalu, tanpa menunggu hembusan wismilak yang mulai menggumpal di mulutku, bahkan tanpa menunggu malam ketika biasa kami berbincang-bincang. Telephone berdering, Keke ada di situ.

Mulanya aku hanya ingin minta surat istirahat dokter agar menejemen percaya kalau aku sakit betulan, padahal tanpa surat dokter pun menejemen tak akan berbuat apa-apa dengan sakitku yang telah diperbuatnya.

Dan jawabanku membuat dokter itu tersenyum sinis, betul-betul sinis, padahal aku tahu senyum yang biasa ia pamerkan ketika memintaku menemaninya memuja neraka adalah senyum lelaki bangsat yang sok keren.


"Ayaaaah....!! aku mau pulang aja, aku mulai benci dengan semua ini"

"Bersabarlah anakku, ingat... masih ada satria kecil yang butuh tawa dosamu bersama bangsat-bangsat itu"

Dan tangis itu semakin tak peduli ingin membasahi tanganku yang ada jauh di seberang sana, dan genggaman itu terasa erat mencakar relung hatiku yang mungkin tidak sesakit yang ia rasakan.

------

:moko 29.02.2012

Jika kau hanya mampu tersenyum pada pilihanmu sendiri, pergilah kau ke neraka wahai "Sang Dokter"





















Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun