Mohon tunggu...
Ulul Azmi
Ulul Azmi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

2019 Pertarungan Cawapres?

10 April 2018   07:41 Diperbarui: 10 April 2018   08:20 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelaran pesta demokrasi terbesar sejagad Indonesia masih lebih dari 12 bulan lagi. Namun hiruk pikuk kebringasan akan pengabdian kepada bangsa (kekuasaan) telah terasa saat ini. Bahkan sejak salah satu kandidat kalah di 2014 pun aroma balas dendam 5 tahun mendatang sudah terasa kala itu. Berhasilkah? Tunggu saja tahun depan, dengan catatan Pak Prabowo kembali nyalon menjadi calon presiden dan kemungkinan besar bakal maju lagi sih, eheh.

Menarik jika kita lihat saat ini hanya ada dua nama saja yang berpeluang besar bertarung di 2019 nanti. Re-match 2014 akan kembali terulang, tentunya dengan strategi politik yang berbeda. Mengenai kandidat ketiga nampaknya masih terlalu gegabah jika ada parpol yang mengusungkan calon presidennya untuk ikut nimbrung diantara Pak Jokowi dan Pak Prabowo. 

Parpol akan lebih memilih posisi aman dengan ikut bergabung pada salah satu koalisi diantara keduanya daripada membentuk poros baru yang belum memiliki fondasi kuat. PAN dan Demokrat yang bisa dikatakan belum menepi kepada salah satu nama juga belum mumpuni melahirkan figur untuk dijadikan kontestan. Pertarungan ulang 2014 nampaknya tak akan terelakkan lagi.

Selain strategi politik, mengenai siapa bakal pendamping Pak Jokowi maupun Pak Prabowo juga akan sangat mementukan kemenangan di 2019. Bahkan daripada membahas siapa yang menjadi calon presiden, pembahasan mengenai calon wakil presiden tampaknya lebih ramai di media saat ini. Beberapa nama bermunculan mulai dari kalangan parpol, militer, agamis, pengusaha, menteri, hingga tokoh lain dalam pemerintahan.

Menariknya munculnya nama-nama calon wakil presiden memiliki jalan yang berbeda. Ada yang karena figur kepemimpinannya yang memang terlihat dan bisa dirasakan masyarakat. Biasanya tokoh seperti ini sebelumnya menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan, seperti mantan gubernur, mantan panglima tni, polri, hingga pemimpin gerakan masyarakat lainnya. 

Minusnya tokoh dari kalangan ini perlahan akan meredup namanya jika tidak menduduki jabatan itu lagi. Kecuali ia mengabdikan diri ke parpol atau membentuk parpol baru untuk meneruskan hasrat berkuasanya, maksud saya pengabdiannya.

Nama lain muncul juga karena pengkaderan parpol, bisa karena memiliki sepak terjang yang oke di partai maupun warisan dari keluarga. Beberapa parpol memang dibentuk dan dipimpin oleh sosok figur pembentuk partai tersebut. Ketika sang pencetus sudah termakan usia, nama besar sudah tenggelam,  dan tidak memungkinkan bertarung pada pemilu nanti, alternatif lain adalah mewariskan kepada keluarga/keturunan untuk ikut bersaing. 

Ya namanya juga ingin berkuasa, tidak ada yang melarang hal demikian. Namun ada pula parpol yang melahirkan figur-figur pemimpin karena proses kaderisasi yang berjenjang. Siapa yang memiliki track record yang bagus, karir politik di parpol tersebut akan terus menanjak.

Muncul pula nama calon wakil presiden karena modal percaya diri bisa menjadi wakil presiden. Hal seperti ini sah-sah saja, siapapun berhak untuk memilih dan dipilih sesuai dengan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Menariknya kala presiden belum mendeklarasikan akan maju bertarung, sudah ada yang memproklamirkan diri sebagai seorang wakil presiden.  Nah lo. Kalau pandangan saya terhadap kasus seperti ini, siapapun yang memang pantas menjadi pemimpin, tanpa promosi (mengemis) sekalipun orang akan tahu dan menilai kepemimpinannya. Justru kalau terlalu percaya diri bisa menjadi bumerang dan membuat ilfeelorang yang akan merekrutnya.

Kalangan pengusaha juga tak mau kalah melahirkan nama. Sokongan dana yang mumpuni menjadi senjata andalan selama berkampanye. Mengenai pantas tidaknya menjadi pendamping presiden itu urusan belakang. Asal dana lancar, semua urusan terselesaikan. 

Meski demikian nampaknya kecil kemungkinan Pak Jokowi maupun Pak Prabowo atau siapa nanti yang menjadi calon presiden memilih pendamping dari kalangan ini mengingat perlu adanya penyeimbang untuk menutupi apa yang tidak dimiliki calon presiden. Soal harta baik Pak Jokowi maupun Pak Prabowo tidak usah ditanya lagi berap asetnya, cukuplah untuk berkampanye.

Mengenai tokoh penyeimbang, melihat kondisi saat ini Pak Jokowi akan lebih mendapat simpati lebih jika didampingi tokoh agamis. Isu-isu SARA dan kebangkitan PKI yang menerpa Pak Jokowi harus ditutupi dengan sosok agamis. Belum lagi beberapa kasus penistaan agama maupun serangan terhadap para ulama yang menjadi salah satu catatan di era kepemimpinan Pak Jokowi. 

Pun halnya dengan Pak Prabowo, sosoknya yang gagah trengginas yang terbentuk dari militer perlu  pelembut dari tokoh agama pula maupun kalangan pemerintahan. Apalagi Partai Gerindra sejauh ini semakin mesra dengan PKS yang notabene adalah partai berlandaskan Islam.

 Tentunya perhitungan yang sangat matang harus dilakukan sebelum memutuskan siapa yang bakal menjadi pendamping presiden nanti. Pemilu 2019 nanti akan basi jika masih mendebatkan antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Kampanye gelap dan fitnah untuk saling menjatuhkan kedua tokoh terlalu jadul dimunculkan lagi pada 2019 nanti. Pertarungan ide-ide dan inovasi antar calon wakil presidenlah yang akan sangat dinantikan. Salah memilih pendamping, akan menjadi blunder dan berujung pada kekalahan. Asal jangan salah memilih pasangan hidup ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun