Mohon tunggu...
Mas Leman
Mas Leman Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Jokowi Taklukan Lumpur Walini

25 Januari 2016   15:07 Diperbarui: 26 Januari 2016   14:29 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pengerjaan proyek sebesar Rp 76 triliun ini, 25% berasal dari ekuitas (modal sendiri) dari konsorsium dan pinjaman 75%. Namun dengan modal sendiri dan pinjaman, banyak value yang mereka dapat dari proyek ini. PT Wijaya Karya sebagai pemegang saham terbesar konsorsium Indonesia, memang harus menyetor modal sendiri dan melakukan pinjaman. Namun dalam kereta cepat BUMN ini melalui anak usahanya bisa mendapatkan proyek pengerjaan konstruksi hingga Rp 17 triliun.

Begitu pula, PTPN VIII, yang asetnya di Walini kurang produktif, bisa dioptimalkan untuk membangun kota baru. Begitu pula bagi PT Jasa Marga Tbk dan PT Kereta Api Indonesia (KAI), dengan adanya kereta cepat bisa melakukan diversifikasi bisnisnya ke kereta berteknologi tinggi.

Sementara dari aspek finansial, memang dengan proyek tersebut harus ada utang yang harus dibayar dalam waktu 40 tahun. Pembayarannya melalui angsuran secara bertahap, sehingga tidak terlalu memberatkan apalagi ada grass period selama 10 tahun. Setahun s/d lima tahun beroperasi bisa saja konsorsium langsung menangguk keuntungan tiap tahunnya.

Bagaimana mau bangkrut, belum membangun kereta cepat saja tawaran untuk membangun infrastruktur berbasis kereta mulai masuk ke KCIC. Seperti untuk membangun kereta ringan (LRT) di Bandung Raya juga sudah mulai ditawarkan kepada KCIC. Bahkan untuk mengoperasionalkan kereta cepat di Saudi Arabia juga mulai ditawarkan kepada konsorsium ini. KCIC milik konsorsium ini ke depannya bisa menjdi bisnis unggulan BUMN untuk menangguk keuntungan.

Itu gambaran linear, jika terjadi resiko, misalnya tak mampu bayar utang apakah BUMN akan bangkrut? Tentu saja tidak. Karena dalam setiap bisnis apapun ada mitigasi resikonya. Untuk menghadapi resiko kecelakaan dan bencana, ada asurasi yang bisa memberikan ganti rugi. Kalau ada fluktuasi dolar dan yuan terhadap utang kepada Bank Pembangunan China ada hedging (lindung nilai) dan kalau utang tak bisa dibaryar ada mekanisme restrukturisasi utang.

Memang ada utang yang bikin bangkrut, seperti di Yunani untuk Negara dan Merpati untuk perusahaan. Tapi bagi Indonesia, sudah biasa merestrukturisasi utang, hingga Negara dan swasta terbebas dari kebangkrutan. Ketika pemerintah Orde Lama meninggalkan utang hingga nyaris membuat Negara bangkrut, Presiden Soeharto merestrukturisasi utang dan membayarnya sampai lunas. Begitu pula ketika Pemerintah Orde Baru terhimpit utang karena adanya fluktuasi dolar terhadap rupiah dari Rp 2.000 menjadiRp 15.000, utang Indonesia terhadap IMF sebesar US$ 23 miliar, bisa direstrukturisasi dan di jamannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa dilunasi.

Di sektor swasta, juga pernah dilakukan oleh kelomok usaha Bakrie. Ketika terjadi krisis ekonomi 1998, Bakrie memiliki utang hingga US$ 1 miliar (Rp 10 triliun). Ia sudah mendatangi 200 bank dan lembaga keuangan dunia, tak ada satu pun yang bisa membantu. Beruntunglah ARB dan Nirwan Bakrie menemukan teknik restrukturisasi, hingga utangnya lunas dan usahanya dalam waktu relatif singkat bisa kembali pulih dan ARB pernah menjadi orang terkaya di Asia. Hal yang sama juga terjadi bagi pemerintah Indonesia, dengan restrukturisasi utang IMF, sekala ekonomi Indonesia kini sudah 10 kali lipat bila dibanding dengan tahun 1999.

Jadi tak perlu ada yang disangsikan oleh konsorsium BUMN bila terjadi resiko utang atau resiko lainnya. Secara korporasi banyak mitigasi resiko yang mereka persiapkan untuk tetap bisa menekan resiko dan bisnisnya tumbuh secara maksimal. Tak pelak jika Jokowi yang memiliki latar belakang sebagai pengusaha, begitu bersemangat menyusuri tanah berlumpur di kawasan Walini untuk melihat dimulainya pembangunan kereta cepat.

Kereta cepat Jakarta-Bandung yang dibangun dengan B to B juga diproyeksikan akan banyak penumpangnya, karena kereta ini juga dibutuhkan oleh masyarakat. Dari hasil penelitian Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) ITB, setiap hari terdapat 144.000 penumpang yang laju Jakarta-Bandung yang menggunakan kereta api, mobil pribadi dan travel. Jumlah itu tidak termasuk pelaju yang mengunakan angkutan bis ekonomi.

Dari hasil penelitian dari 144.000 pelaju tersebut, 21% memastikan akan naik kereta cepat dan 39% mempertimbangkan naik kereta cepat. Itu artinya sebanyak 60% pelaju menyambut keberadaan kereta cepat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut LAPI menghitung pada 2019 akan ada 55.000 yang naik kereta cepat Jakarta-Bandung.

Semangat Jokowi menyusuri lumpur Walini untuk meresmikan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, seperti semangatnya para pendahulu Republik ini, yang dengan segala resiko berani menghadapinya dengan ketulusan dan keikhlasan unuk menggoreskan sebuah karya yang akan dikenang oleh para penerus bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun