Nasib guru atau pendidik, sebagai ujung tombak dunia pendidikan Indonesia banyak mendapat sorotan dan perhatian berbagai pihak, khususnya terkait dengan ketikmampuan guru menulis karya tulis ilmiah sebagi bagian dari upaya pengembangan profesinya.Â
Tidak terpenuhi bagian tersebut dalam rangka persyaratan utama kenaikan pangkat dengan sistem Angka Kredit (AK), membuat guru terhambat naik pangkatnya sebagaimana terjadi di Kota Banjarmasin. Â Ada sebanyak 2.900 guru SD dan SMP di Kota Banjarmasin ini terpaksa tertunda kenaikan pangkat, karena ketidakmampuan menulis karya tulis ilmiah.
Guru sekarang ini untuk dapat naik pangkat dituntut dengan berbagai macam persyaratan administratif yang relatif banyak, sehingga terkadang untuk menyusun portofolio dan pemberkasan harus dengan susah payah mengurusnya, baik dikerjakan sendiri dan kebanyakan pula diupahkan dengan pihak lain.Â
Tidak menutup kemungkinan pula, dalam rangka melengkapi persyaratan yang demikian banyak tersebut ada praktik yang pantas dilakukan oleh guru demi mengejar pangkat yang lebih tinggi lagi. Misalnya dengan meminta bantuan pihak lain membuatkan karya tulis ilmiah, makalah, Â artikel, dan karya tulis lainnya.
Sementara itu, tuntutan mengajar minimal 24 jam bagi guru yang mendapatkan tunjangan sertifikasi guru, maka makin menambah banyak pekerjaan dan tugas sebagai guru.Â
Terlebih lagi bagi guru yang jumlah di sekolah pangkahnya kurang, maka dengan terpaksa mencari tambahan jam mengajar di sekolah lain yang letaknya relatif jauh, sehingga memerlukan waktu yang relatif lama. Permasalahan guru tersebut tentunya sampai disitu saja, karena seiring dengan implementasi Kurikulum 2013, tugas guru semakin berat, khususnya dalam sistem penilaiannya yang lebih komplek lagi.
Kenyataan di lapangan, guru sepertinya banyak waktunya hanya mengurus masalah kekurangan jam mengajar, tuntutan administrasi pembelajaran, administrasi penilaian Kurikulum 2013, dan sebagainya. Jangankan untuk menulis sebuah karya tulis ilmiah, menulis program pembelajaran atau RPP saja guru harus menggunakan teknik copypaste, bahkan sampai tidak sempat lagi mengedit nama sekolah atau kepala sekolahnya.
Dalam kondisi sebagaimana digambarkan penulis di atas, guru memang tidak memiliki waktu yang cukup menulis karya tulis ilmiah atau karya tulis lainnya.  Banyak permasalahan guru yang terkait dengan  tugas pook dan fungsinya dalam menyelenggarakan proses pembelajaran beserta perlengkapan administrasiya.Â
Guru memiliki kemampuan yang terbatas, tidak serta marta mampu melakukan suatu pekerjaan yang kurang tidak dipahami atau dimengertinya. Jika suatu pekerjaan atau tugas tersebut dipaksakan juga terhadap guru, maka kemungkinan besarnya tidak dapat diperoleh hasil yang baik sebagaimana mestinya.
Guru yang baru diangkat danlulusan  dari sebuah perguruan tinggi akan lebih tinggi kemampuan menulisnya dibandingkan dengan guru senior yang baru kenal dunia tulis menulis, terlebih lagi karya tulis ilmiah.
Memang, Pemerintah dan berbagai pihak melakukan upaya menumbuhkan minat menulis dengan berbagai kegiatan yang diikuti oleh banyak guru, seperti seminar atau lokakarya penulis karya ilmiah.Â
Namun, hasilnya tidak sesuai dengan maksud dan tujuan upaya tersebut, karena setelah seminar atau lokakarya, guru kembali seperti dulu. Mereka hanya mencari  sertifikat sebagai tanda mengikuti kegiatan seminar  atau lokakarya tersebut, bahkan sampai ada yang berani membeli tanpa harus hadir dalam kegiatan tersebut.
Seminar atau lokarya penulisan karya tulis ilmiah hanya sekedar formalitas belaka, tanpa ada tindak lanjut dan hasilnya yang berupa karya tulis dimaksud.
Jika pun ada karya tulis ilmiah tersebut, patut dipertanyakan keaslian atau orisinalisnya, karena ditengarai banyak 'pabrik' pembuatan makalah dan PTK (Penelitian Tindakan Kelas) untuk oknum guru yang akan naik pangkat, khususnya ke pangkat dan golongan IV.
Tuntutan persyaratan kenaikan pangkat dengan karya tulis ilmiah berupa PTK atau PTS, kini  sudah mulai diberikan keringanan dengan karya tulis lain, yaitu best practice dan karya inovatif.
Kedua bentuk karya tulis tersebut dianggap tidak terlalu ilmiah dan berat seperti PTK atau PTS. Â Best practice dan karya inovatif dianggap lebih sederhana dan mudah dilaksanakan oleh guru, tanpa perlu penelitian yang berbulan-bulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H