Mohon tunggu...
Langit Cahya Adi
Langit Cahya Adi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Technical Assistant

Technical Assistant || Universitas Gadjah Mada (2010-2015) Universite de Bordeaux-Perancis (2016-2018) Osaka Daigaku/Universitas Osaka-Jepang (2019-2022) || Twitter: @LC_Adi07

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sukses Mulainya dari Diri Sendiri

10 Mei 2020   06:54 Diperbarui: 10 Mei 2020   11:51 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kita mendengar kata "sukses", apa yang ada di pikiran kita? Motivator? Sekolah? Pelatihan kerja? Saya sendiri akan mengaitkan sukses dengan ucapan ulang tahun atau ucapan selamat tahun baru.

Akan tetapi, yang jadi poin bukanlah dari mana kita mendapatkan doa dan harapan agar kita sukses, melainkan kata "sukses" itu sendiri seakan-akan ada di mana-mana dan sekalipun ada di mana-mana, kita tak pernah sungguh-sungguh mengerti apa arti sukses sebenarnya. 

Sukses itu apa sih? Mengapa seakan-akan kesuksesan adalah mantra super ajaib yang bisa menyihir banyak orang begitu rupa sampai-sampai ada banyak forum dan diskusi membahas bagaimana caranya jadi "sukses", entah dari perspektif mana? Selama ini, memangnya kita tidak sukses kok sampai-sampai ada banyak ajakan dan kata-kata motivasional dan bombastis untuk jadi sukses?

Kita sendiri hanya bisa memberikan sekian banyak contoh dari apa yang kita sebutkan sebagai ragam orang yang meraih kesuksesan. Misalnya, siswa-siswi sekolah dasar yang sukses adalah mereka yang naik kelas dengan nilai amat memuaskan dan rangking 1. 

Mahasiswa yang sukses adalah mereka yang memiliki indeks prestasi kumulatif (IPK) dengan predikat cum laude. Kesuksesan karyawan/karyawati di sebuah perusahaan ialah ketika mereka naik gaji dan pelan-pelan jadi pimpinan bukan bawahan. 

Guru besar alias profesor yang sukses adalah jika ia jadi anggota pejabat tingkat rektorat atau, paling tidak, dekanat. Dan seterusnya, masih banyak lagi.

Namun, apakah mereka yang kita anggap meraih kesuksesan memang mencapai segala sesuatunya itu dengan panggilan yang berasal dari hati mereka? Apakah mereka bersekolah, berkuliah, atau bekerja dengan sepenuh hati mereka, dengan segenap antusiasme dan semangat?

Atau mereka cuma sekedar menuruti standar-standar masyarakat yang bahkan tidak jelas datangnya dari mana bahkan dilestarikan sampai sekarang oleh orang tua, anak, pasangan, dan orang-orang terdekat? Apakah itu tujuan hidupnya?

Tidak, tidak. Jangan salah sangka dulu. Bukan berarti mereka yang memiliki nilai gemilang di sekolah atau kampus dan naik jabatan adalah orang tidak sukses atau kesuksesannya semu belaka. Atau sebenarnya sedang menjalani kehidupan yang hampa dan sepi makna.

Kesuksesan adalah pertama-tama harus kita lihat sebagai bagaimana kita dapat memahami diri kita sendiri. Kesuksesan adalah bagaimana kita mengenal apa yang tidak kita sukai, apa yang kita cintai. Apa yang menjadi kelebihan, kekurangan, atau cacat (kekurangan yang mungkin nyaris mustahil untuk diperbaiki).  

Kita juga akan menemukan apa yang jadi passion kita. Barangkali di antara kita ada yang sangat antusias akan desain grafis sehingga tak sungkan menjadwalkan waktu sekaligus mengalokasikan uang tabungannya untuk membeli aplikasi desain grafis seperti CorelDraw dan Adobe Photoshop. 

Bisa juga kita menemukan bakat atau talenta kita, seperti bermain alat-alat musik tertentu atau bermain di sanggar teater. Ada banyak sekali kemungkinan, 'kan?

Kalau begitu, kesuksesan sebenarnya unik dong? Oh ya, tentu saja.

Setiap orang memiliki panggilan di dalam dirinya sendiri, entah sadar atau tak sadar. Sayangnya, masih banyak orang yang tidak sadar karena buru-buru "dikondisikan" oleh masyarakat kita sendiri. 

Di tengah publik kita, rute hidup yang "normal" dan pantas biasanya dirumuskan dengan mantra sekolah, kuliah di kampus bergengsi, dan kerja dengan gaji melimpah. Masih mending kalau bersekolah atau berkuliah di tempat yang sesuai dengan panggilan hatinya. 

Kalau tidak? Sebagian dari kita pasti pernah mengalami atau mendengar doktrin bahwa jurusan ilmu pengetahuan sosial (IPS) masih kalah mentereng dibanding jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA). 

Akhirnya, banyak dari kita atau kawan kita yang menjalani kehidupan persekolahan hingga kerjanya dalam keterpaksaan. Ilmu yang didapatkan dan pekerjaan yang ditekuni jadi seolah formalitas saja. Yang penting orang tua saya bahagia dan martabat keluarga tetap baik, begitu mungkin pikir mereka.  

Lalu, bagaimana cara menemukan panggilan itu di dalam diri kita? Kita sendirilah yang bertanggung jawab atas diri kita sendiri, kita sendiri yang seharusnya paham. 

Bukan waktunya menyalahkan keluarga atau masyarakat yang seolah-olah nampak memutilasi gairah kita sebab kita sendiri yang harus berani dan tegas. 

Kita berhak mencoba apapun yang sepertinya menarik bagi kita dan kita bisa mencobanya semampu kita dengan ketekunan lewat sarana yang kita punyai atau terjangkau oleh kita. 

Dengan keuletan. Jika terbukti bahwa ketekunan kita membawa hasil yang baik, kita bisa bertanya lebih lanjut lagi: Bisakah saya hidup dari situ? Bisakah saya menjadikannya piranti untuk mencukupi kebutuhan hidup saya dan/atau keluarga saya? Apakah ada pendidikan yang layak untuk antusiasme saya ini?

Maka, memahami diri sendiri, menemukan bakat dan minat, tetap saja ada harus disertai dengan pertimbangan "teknis". Amatlah absurd jika seseorang merasakan kesuksesan karena bakatnya terasah dan nampak buahnya namun hanya terasa oleh dirinya sendiri. 

Lagipula, ada banyak dimensi dari diri kita yang bisa dikembangkan dan diasah sekaligus membawa berkah kehidupan yang lebih layak dan baik bagi kita dan sesama. Mengapa harus mematok diri sendiri dari satu identitas belaka?

Memahami diri sendiri bukan suatu rumusan yang kaku, melainkan fleksibel dan dinamis. Kita dibentuk dari pengalaman sehari-hari yang tak mungkin konstan sama setiap waktu dan setiap saat kita juga selalu mencermati apa yang hendak kita lakukan. Tujuan hidup kita juga.

Oleh karena itu, kita selayaknya pun sadar bahwa kesuksesan bukan hanya tentang tujuan akhir, melainkan juga proses yang berjalan sepanjang umur. Kesuksesan bisa jadi bersifat dualis: Perjalanan sekaligus tujuan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun