Mohon tunggu...
Langit Cahya Adi
Langit Cahya Adi Mohon Tunggu... Ilmuwan - Technical Assistant

Technical Assistant || Universitas Gadjah Mada (2010-2015) Universite de Bordeaux-Perancis (2016-2018) Osaka Daigaku/Universitas Osaka-Jepang (2019-2022) || Twitter: @LC_Adi07

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yang Tertinggal dalam Sains Kita: Wanita

1 Januari 2020   16:39 Diperbarui: 2 Januari 2020   16:52 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lIlustrasi Saintis Wanita | Sumber gambar: collegetransition.com

Kalau kita mengamati betul-betul, paling tidak ada dua hal di Indonesia yang saat ini menunjukkan gerakan maju dan senantiasa berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang didorong oleh kehadiran media sosial: Minat pada sains dan kepedulian pada isu-isu feminisme menyangkut  hak-hak wanita.

Besarnya perhatian akan dua aspek di atas merupakan hal yang patut diapresiasi tinggi-tinggi. Minat pada sains mengindikasikan bahwa ada kesadaran di antara sebagian masyarakat Indonesia untuk meninggalkan pemahaman mistis tentang dunia di sekitar dan lebih berpihak pada sifat rasionalitas alam itu sendiri.

Isu-isu feminisme pun tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan dan didiskusikan mengingat Indonesia masih belum ramah bagi perempuan. Studi feminisme juga menyadarkan kita bahwa diskriminasi berbasis gender masih terjadi di negeri ini sekaligus mendorong emansipasi wanita untuk mendapatkan kesetaraan, sebagai antitesis spirit patriarki yang masih merajalela di Indonesia.

Nah, di dalam meningkatnya minat orang Indonesia pada sains, sadarkah kita bahwa menurut data dari UNESCO (secara spesifik: UNESCO Institute for Statistics) yang diterbitkan pada Juni 2018, jumlah persentasi wanita yang bekerja sebagai ilmuwan di bidang sains hanya sebesar 30,6% saja dari keseluruhan ilmuwan yang ada? 

Salah satu negara tetangga kita, Malaysia, memiliki persentasi saintis wanita sebesar 48,6%. Artinya, di Malaysia, hampir ada kesempatan yang sama bagi wanita untuk jadi ilmuwan di bidang sains seperti halnya kaum pria.

Jumlah persentasi banyaknya saintis wanita Indonesia menunjukkan bahwa dunia sains di Indonesia pada dasarnya masih didominasi oleh pria. Hal yang memprihatinkan karena dalam bidang sains, yang dibilang sebagai penggerak kemajuan peradaban, kaum wanita di Indonesia masih belum bisa banyak berkontribusi. Patut disayangkan!

Pertanyaannya, mengapa? Apa saja sebab-sebabnya?

Untuk menjadi seorang peneliti yang serius di bidang sains, setiap person wajib menempuh pendidikan yang tinggi dan memiliki kontribusi ilmiah melalui penelitian yang cermat dan memiliki kebaruan yang tinggi. Tentu saja, jalan untuk mencapai pendidikan yang demikian adalah dengan melaluinya di universitas. 

Untuk dapat memberikan kontribusi ilmiah melalui riset, strata pendidikan doktoral harus dilalui, tidak cukup sekedar pendidikan magister atau malah hanya pendidikan sarjana saja. Mau tidak mau harus mau.

Agar mampu melalui pendidikan sains secara terstruktur dengan semestinya, pada umumnya seseorang menempuh pendidikan sarjana selama 4-5 tahun, pendidikan magister selama 2 tahun, dan pendidikan doktoral selama 3-5 tahun. 

Untuk kasus terakhir, durasi lamanya pendidikan biasanya berbeda-beda antara satu negara dengan negara yang lain jika pendidikan doktoral ini ditempuh di negara luar selain Indonesia, misalnya Amerika Serikat, Jerman, Perancis, atau Jepang.

Saya pikir untuk menjadi ilmuwan sains yang sungguh-sungguh membutuhkan kesungguhan yang mendalam pula dan durasi pendidikan dari sarjana hingga doktoral baru awal saja.

Dan durasi waktu inilah yang sepertinya dibikin seolah jadi momok oleh kaum tradisional/konservatif terhadap para wanita Indonesia yang hendak menempuh karir sebagai saintis. 

Selama sekian dekade atau malah abad, wanita Indonesia diatur bahwa mereka harus menikah sebelum usia tertentu, misalnya antara 25-27 tahun. Jika mereka menikah lebih dari usia itu, mereka akan dicap dengan olokan misoginis seperti "perawan tua" atau "wanita tidak laku". 

Kita dapat melihatnya di sekitar kita. Atau malah kita ikut-ikutan menyebutkan pelecehan itu?

Selain itu, ada kecemasan bahwa dengan menjadi seorang ibu, seorang saintis wanita tidak akan bisa menjadi seorang ilmuwan yang baik. Seolah-olah, "wanita tidak dapat menjadi seorang ibu yang baik sekaligus ilmuwan yang mumpuni dalam satu sosok yang sama".  

Belum lagi wanita Indonesia selama ini ditakut-takuti dengan pernyataan bahwa semakin tinggi pendidikannya, maka akan membuat dia tidak menarik di hadapan lelaki karena para lelaki akan menjadi minder. 

Bukankah hal ini menyiratkan seakan-akan wanita hanya bernasib untuk dipinang lelaki saja sehingga apapun yang dia lakukan haruslah selama tidak membuat lelaki kehilangan perhatian padanya?

Dengan mencermati faktor-faktor umum di atas yang seringkali berkelindan, bisa jadi kita melihat bagaimana peran para feminis atau semangat feminisme sangat relevan. 

Pertama, berbekal semangat feminisme, para wanita Indonesa yang hendak berkecimpung di bidang sains secara aktif tidak perlu takut akan stigma dan prasangka masyarakat bahwa dengan menempuh pendidikan tinggi yang memakan waktu lama akan membuat mereka terlambat menikah.

Bagaimanapun, menikah adalah salah satu hal yang bersifat "pilihan" di dalam hidup yang tidak akan menentukan nilai diri (self worth) seorang wanita. 

Sebaliknya, sebagaimana manusia yang seharusnya, ilmuwan sains Indonesia justru dapat mengaktualisasikan kompetensi dirinya secara seutuhnya dengan cara menjadi saintis yang baik. 

Tidak perlu kuatir untuk "menunda" pernikahan asalkan bisa menjadi diri seutuhnya. Dari sudut pandang manapun, pernikahan adalah soal kesiapan lahir-batin.

Kedua, para "ilmuwan wanita" Indonesia ke depannya dapat membentuk wadah organisasi yang memiliki daya tawar yang kuat. Dengan memiliki perserikatan, mereka dapat memiliki saluran aspirasi yang membuat lingkungan kerja yang tidak kaku dan terlalu memihak para kaum pria saja. Apa maksudnya?

Seorang wanita yang kebetulan bekerja sebagai peneliti sekaligus seorang ibu, khususnya bila memiliki anak yang masih kecil dan perlu perhatian ekstra, butuh fleksibilitas jam kerja agar mereka tetap bisa mengasuh anak dengan baik sekaligus bisa bekerja dengan seksama. 

Bagaimanapun, dibutuhkan peraturan kerja yang akomodatif supaya mereka sendiri yang bisa mengatur jam kerjanya agar mereka bisa membagi waktunya secara berimbang antara tanggung jawabnya sebagai ibu dan peneliti.

Dalam hal ini, UU Ketenagakerjaan nomor 13 Tahun 2003 Ketenagakerjaan yang memberikan pekerja/buruh perempuan waktu 1,5 bulan cuti sebelum melahirkan dan 1,5 bulan selama proses kelahiran perlu diberlakukan juga untuk melindungi hak ilmuwan perempuan. 

Bagaimanapun, para ilmuwan perempuan secara teknis adalah karyawan atau pegawai di lembaga pendidikan atau penelitian. 

Jika mereka hendak mewujudkan haknya untuk menjadi seorang ibu yang penuh perhatian sekaligus ilmuwan yang berdedikasi, negara dan instansi terkait seharusnya memfasilitasi dengan memberikan jaminan hukum dan implementasi yang lebih nyata.

Setelah tahun 2018 Frances Arnold menerima Nobel Kimia dan Donna Strickland menerima Nobel Fisika, tentunya kita makin tercelikkan bahwa wanita dapat berkontribusi dalam jagad sains. 

Pertanyaannya, apakah Negara Indonesia dan rakyatnya sudah sadar sepenuhnya dan bersikap peduli untuk memberikan iklim yang ramah terhadap perempuan, termasuk dalam sains?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun