Kita barangkali masih ingat bagaimana Pemilu 2019 yang dijejali dengan olok-olokan, sumpah serapah, dan makian kasar antara pendukung fanatik dari kedua belah pihak pasangan capres-cawapres yang berlaga sehingga melahirkan julukan peyoratif "cebong" dan "kampret". Belum lagi jika para buzzer (pendengung) tiap kubu ikut bersuara.
Kini, setelah Joko Widodo menjadi presiden untuk kali kedua bersama KH. Maruf Amin sebagai wakilnya dan Prabowo Subianto menjabat Menteri Pertahanan, konflik bernuansa "cebong versus kampret" sudah semakin sirna, mungkin kita dapat bernafas lega paling tidak selama 5 tahun ke depan karena konflik berbau politik identitas diyakini akan sementara berakhir.
Sayangnya, ada perselisihan baru yang mulai menguat dan menyeruak di Indonesia meski secara umum "baru" melanda dunia maya saja. Perselisihan baru ini, paling tidak di mata saya, memperhadapkan kelompok masyarakat yang religius dengan kelompok masyarakat yang mengaku "skeptis" terhadap dogma-dogma agama dengan berlandaskan pada teori dari sains alam alias IPA.
Jika "cebong versus kampret" dilatarbelakangi perasaan suka dan tidak suka terhadap salah satu capres-cawapres, maka perselisihan yang saya katakan tadi adalah bagaimana menyikapi kisah-kisah dan ritus beribadah dalam agama khususnya agama Abrahamaik yang ada di Indonesia.
Kelompok skeptis mengatakan bahwa banyak ajaran agama khususnya kisah penciptaan alam semesta dan mujizat-mujizat adalah mitos. Ilmu fisika, geologi, biologi, dan kimia telah membuktikan bahwa sosok supranatural yang mampu menciptakan segalanya dari ketiadaan (ex nihilo) tidak diperlukan. Tuhan pun menjadi dipertanyakan identitas-Nya sebagai sosok pencipta.
Dalam artian tertentu, kegiatan peribadatan adalah kegiatan yang sia-sia dan iman pada Tuhan merupakan sikap yang delusional. Kelompok skeptis tidak berarti ateis, namun mereka secara ringkas tidak beriman kepada Tuhan dalam pemahaman yang "kuno".
Di sisi lain, kelompok religius bersikeras bahwa IPA masih sangat terbatas dan karena Tuhan amat mahakuasa, maka IPA tidak akan dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Ada sekian hal yang tidak dapat dijawab oleh IPA seperti mengapa DNA yang bergabung bisa melahirkan "kesadaran" dalam diri manusia, mengapa hanya Bumi yang mendukung kehidupan, dan lain sebagainya, sebagai tanda bahwa segalanya berasal dari Tuhan atau sosok Maha Pencipta.
Bahkan, kabarnya ada yang menggunakan Prinsip Ketidakpastian Heisenberg yang notabene ialah salah satu prinsip dalam ranah mekanika kuantum sebagai landasan teoretik adanya mujizat.
Perselisihan ini kemungkinan mulai terjadi di dalam rentang antara Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 kemarin. Tidak ada yang bisa mengatakan bagaimana mulainya, namun hemat saya semua pihak pada dasarnya bersifat sebagai antitesis satu sama lain.
Saling mengklaim pihaknya yang benar. Saling berkata pada kita bahwa pihak yang lain akan kalah. Pemuja IPA yang fanatis umumnya disebut berpaham "saintisme" yang menentang para "fundamentalis agama".
Tidakkah hal ini menggelisahkan kita? Masyarakat Indonesia lagi-lagi terjatuh di dalam polarisasi yang tidak ada manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan. Lebih menggelisahkan lagi jika kompetisi dua kutub ini akhirnya malah melahirkan kebencian-kebencian baru.
Keberadaan aliran-aliran pemikiran tersebut pada dasarnya tidak salah. Indonesia sejak awal kemerdekaannya dirancang untuk jadi negara yang demokratis di mana tiap warga negara memiliki pendapat yang sama dan kemerdekaan berpikir serta mengembangkan ide adalah (salah satu) hak asasi manusia yang dijamin oleh negara.Â
Kita sudah sepantasnya senang sebab demokrasi Indonesia bukan sekedar memberikan suara saat pemilihan kepala negara/daerah.
Hanya saja, perselisihan antara mereka yang "skeptis" dan "religius" ini kapan berakhir? Tidak ada yang tahu. Masalah yang esensial adalah bagaimana keberadaan dua kelompok ini bisa membebaskan kelompok yang tertindas dan melarat di Indonesia, bukan malah berdebat di menara gading sementara kaum marjinal cuma bisa menonton.
Para peneliti bidang IPA tidak semestinya datang ke tengah-tengah masyarakat sambil membawa seabrek teori ilmiah mulai dari fenomena partikel atomik hingga ekspansi alam semesta.
Fakta bahwa agama masih bersifat penting dalam masyarakat Indonesia kebanyakan harus diterima. Bukan malah diejek. Sikap oposan secara terbuka terhadap agama akan dianggap sebentuk sikap melawan rakyat itu sendiri.
Kelompok agamawan juga harus menyadari bahwa meskipun agama berperan merawat aspek spiritual, ada berbagai hal lain dalam kehidupan yang hanya dapat diatasi oleh para ilmuwan dan insinyur, mulai dari perancangan obat hingga pembangunan infrastruktur. Dogma agama tidak bisa dijadikan data ilmiah.
Sadarilah bahwa apa yang disebut "logos" dalam Bahasa Yunani bukan melulu berarti firman atau sabda, sebab "logos" juga dapat berarti pengetahuan dan reason. Artinya, baik keberadaan ilmu, termasuk IPA, dan agama yang berlandaskan pada sabda ilahi bertugas untuk menolong manusia, khususnya bagi kelompok yang tertindas.
Keduanya mengabdi pada kemanusiaan menurut kaidahnya masing-masing. Penelitian IPA dapat menjadi mitra umat beragama dalam menjaga kelestarian alam dan menyelesaikan polusi plastik yang merusak banyak biota laut dan menyengsarakan petani tradisional sebagai tindakan iman, misalnya.
Sudah waktunya ilmu dan iman bergotong royong demi masyarakat yang progresif. Jangan sampai saudara-saudari kita dipenuhi dengan pertentangan lain. Jangan sampai kesengsaraan rakyat Indonesia menjadi sekedar kewajaran dan tak terdengar karena adanya pertarungan baru lapisan elit lain, dalam hal ini elit ilmuwan dengan elit agamawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H