Mohon tunggu...
Slamet Rianto
Slamet Rianto Mohon Tunggu... -

Lahir di pelosok Wonogiri, listrik baru masuk tahun 1997, kuliah ikatan dinas, pernah bertugas di Baturaja Sumatera Selatan. Berjodoh dengan orang Palembang keturunan Jawa, berketurunan dua, lelaki semua.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kita Cuma Butuh Tiga Menteri

16 Desember 2010   13:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:40 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangunan itu lebih menyerupai tempat tinggal dibandingkan kantor.. Terletak di dekat sebuah perempatan besar di Bandung, berhalaman luas nan asri, berjejer tunggangan kelas atas..
Pria itu sudah demikian berumur, di atas 70 tahun, dengan bersahaja menyambut kami. Raut mukanya, sapa pertamanya terdengar datar, bahkan tidak ramah. Satu persatu nama kami ditanya. Lalu obrolan cepat sekali mengalir, bahkan terasa terlalu cepat. Sambil tak hentinya isapan rokok kretek dia lakukan.
Topiknya seputar permasalahan besar bangsa ini, yang entah kenapa pagi tadi terdengar ringan beliau sampaikan. Bahwa negara ini cuma butuh tiga menteri, Perdagangan, Pertanian dan Keuangan.
* Perdagangan untuk mengatur tata niaga kebutuhan pokok yang belakangan semakin dikuasai oleh ritel asing dan pengusaha berkapital besar, hingga semakin tersudutlah para pedagang tradisional.
* Pertanian untuk menyadarkan kita bahwa negeri ini adalah negeri paling subur di dunia, tapi mengapa kini harus mengimpor kedelai dan sejenisnya. Hal yang tidak terjadi, bahkan ketika kita belum merdeka dulu..
* Keuangan untuk mengatur suku bunga kredit, agar para usahawan menengah dan mikro yang nota bene tahan terhadap bada resesi ekonomi dapat leluasa mengembangkan usahanya...
Tanpa terasa obrolan sudah berlangsung satu jam lebih. Ku lihat itu adalah batang ke tiga rokok kretek yang dia habiskan sepanjang obrolan kami. Di umurnya yang 74 tahun dia juga berkata masih pede makan gulai kambing tanpa takut efeknya. Demikian juga dengan hobi nyetir kendaraannya sendiri, nyaris tanpa sopir.
Deretan foto di dinding menunjukkan jejak tamu yang pernah dia temui dan berkunjung ke sini. Mulai dari petinggi republik ini sampai presiden World Bank, ya.... presiden Bank Dunia... Beberapa penggal cerita tentang intrik politikpun dia singgung, lugas dan terdengar ringan, tanpa meninggalkan prasangka.
Satu hal yang tidak ku temui dari ruangan kerjanya adalah atribut partai....!
Obrolan kami sudahi karena perjalanan kami harus berlanjut ke kebun dia. Tiga pegawai negeri "rendahan" ini dia antarkan sampai depan mobil dinas kami. Sungguh pria yang hangat...
Butuh waktu hampir satu jam untuk mencapai kawasan perbukitan Cicalengka, sampai akhrinya sebuah gerbang dibukakan untuk kami. Sebuah "dunia lain" terpampang di depan kami. Bentangan tanah puluhan hektar yang ditanami cengkeh dan durian menaungi perjalanan kami ke sebuah rumah peristirahatan yang tertata apik. Air sedemikian deras mengalir tanpa putus. Di kolam ratusan ikan bawal menyambut pelet yang ditebarkan penjaga rumah. Hawa kesejukan langsung merasuki dada kami.
Sang penjaga berujar bahwa ini adalah milik pribadi yang tidak pernah dikomersialkan. Terihat puluhan ekor kijang sengaja diternakkan. Di setiap sudut lahan terlihat kolam ikan yang melimpah penghuni...
Aku jadi bertanya dalam hati, apa masalah Bapak tadi hari ini.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun