Mohon tunggu...
Bozz Madyang
Bozz Madyang Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Food Blogger

#MadYanger #WeEatWeWrite #SharingInspiringRefreshing #FoodBlogger - Admin Komunitas Kompasianer Penggila Kuliner (KPK) Kompasiana - Email: bozzmadyang@gmail.com - Instagram/Twitter: @bozzmadyang

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pindang, Kuliner Tradisional yang Kian Langka

27 Juli 2015   12:51 Diperbarui: 27 Juli 2015   12:51 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bacem ulam sapi. (Ganendra)

Aku sih bertahan, soalnya penasaran rasanya. Aku tengok sekilas saat diletakkan di daun jati seperti mirip ‘petis’. Namun beda warnanya. Kalo petis warnanya lebih coklat gelap. Kalau pindang ini warnanya lebih terang. Belakangan saat mencicipi rasanya juga beda sih. Kalau petis ada manisnya, liat, kenyal dan ada ‘balung-balungnya’ (tulang). Kalau pindang ini tulangnya lebih dikit, ada gajih-gajihnya, dan rasanya tidak manis, agak gimanaaa getu. Enak sih. heheheeee

Tak terasa menunggu antrian lama juga yaa. Aku sibukkan diri dengan menengok ke dapur. Dapur ala kampong tentunya. Ada panci besar tempat ‘menanak’ pindangnya. Tidak memakai kompor tapi ‘pawon’ batu dengan kayu bakar. Menurut Yu Sumi bikinnya sih gampang saja. Awalnya rebus air dalam panci besar, masukin ‘tetelan’ dan semacamnya. Dulu sebelumnya menggunakan daging kambing. Karena pindang aslinya memang menggunakan daging kambing. Namun belakangan banyak orang yang tak menyukai daging ‘prengus’ khas kambing. Jadi Yu Sumi akhirnya menggantinya dengan tetelan sapi, yang lebih akrab diterima lidah sebagian besar orang. Nah setelah tetelan dimasukkan dicampur dengan gaplek singkong, lalu dibumbui. Bumbunya sih umum saja seperti ketumbar, bawang, brambang, merica juga dan tak lupa dikasih daun jeruk. “Ben ra amis Mas,” kata Yu Sumi. (Biar tak amis)

Dapurnya khas ndeso yoo. (Ganendra)

Ini dia pindangnya masih di panci. (Ganendra)

Akhirnya sekitar jam 06.55 wib aku dapet juga deh giliran. Aku pesen 10 bungkus saja pindangnya lalu ulam bacemnya 2 bungkus. Harga pindangnya… Rp. 2000!! sebungkus … Ulam bacemnya Rp. 5000, sebungkus. Sambil membantu menstraples, lanjutlah obrolanku. Yu Sumi mengaku awalnya malu jual pindang.

“Gak ada cita-cita bakul pindang Mas,” katanya.

Tapi yaaaa, karena memang factor turunan keluarga, Yu Sumi akhirnya belajar juga bikin pindang dan menjualnya. Dulu bukan hanya dia saja yang jual, kakak-kakaknya juga jualan yang sama.

“Sakniki, mpun podho mboten wonten Mas, dados’e nggih naming kulo,” katanya dengan bahasa Jawa medhok. (Sekarang sudah tidak ada Mas – kakaknya meninggal - jadi tinggal saya yang jual). Yaaah semoga saja deh ada generasi yang mewarisi kemampuan jual pindang ini. Sayang banget kalau punah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun