Pada tahun 1993, posisi Sabang mulai diperhitungkan dengan dibentuknya Kerjasama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT). Selanjutnya, karena tuntutan masyarakat Aceh, pada tahun 2000, Presiden RI, KH.Abdurrahman Wahid, mencanangkan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Pada tanggal 22 Januari 2000, presiden menerbitkan Inpres Nomor 2 Tahun 2000 tentang pelabuhan bebas Sabang.
Sejak itu Sabang hanya disebut-sebut sebagai pelabuhan bebas (free port). Tapi masyarakat melihat, kondisi Sabang tetap begitu-begitu saja, baik sebelum dikukuhkan sebagai pelabuhan bebas mau pun sesudahnya.Tidak ada yang berubah. Kondisi ekonomi masyarakat masih tetap biasa saja. Bahkan tidak terlihat bahwa Sabang diperlakukan sebagai pelabuhan bebas.
Baru pada tahun 1990 an, Sabang menjadi topik pembicaraan di tanah air, setelah pemerintah mengizinkan impor mobil eks Singapura secara besar-besaran. Ratusan mobil berbagai merek eks Singapura, mulai dari jenis mobil biasa, menengah hingga mobil mewah, mendarat di Sabang. Mobil ini bebas bea sampai di Sabang, namun akan dikenakan bea (pajak) saat mobil dibawa ke Aceh daratan atau ke wilayah lain di Indonesia.
Gonjang-ganjing impor mobil bekas pun hanya bertahan beberapa tahun. Pemerintah kemudian kembali mengeluarkan kebijakan pengetatan impor mobil eks Singapura.Imbas dari kebijakan ini, Sabang kembali sepi pengunjung, dan perputaran ekonomi kembali melambat. Toko-toko dan warung hanya didatangi warga setempat.
Tamu yang datang dari luar Sabang, paling banter hanya bisa bertahan selama dua hari, untuk menikmati keindahan panorama dan sensasi pantai Sabang.Setelah itu para tamu akan pulang dengan tangan kosong. Tidak ada produk atau barang tertentu sebagai kebanggaan, yang bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
"Memang itu kelemahan di Sabang ini. Tidak ada barang tertentu yang bisa dijadikan cendera mata. Kalau kita pergi ke Batam, semua tau kita bisa membeli tas berkualitas dengan harga murah. Atau membeli barang-barang lain. Tapi kalau di Sabang ya gak ada apa-apa," kata Ita, warga Medan yang datang berlibur ke pulau kilometer '0' itu.
Belum lama ini, Makmur Budiman, seorang pengusaha Aceh, melempar gagasan tentang perlunya Sabang memiliki produk impor yang bisa dijadikan sebagai "ikon," dan menjadi magnet bagi wisatawan untuk berkunjung ke pulau itu.
"Bila Sabang ingin lebih dikenal dan dikunjungi banyak orang, maka BPKS (Badan Pengusahaan Kawasan Sabang) dan Pemko (pemerintah kota) harus mengambil langkah berani dengan membangun pusat penjualan (mall) parfum impor berkualitas internasional," kata Makmur.
Menurut alumni Fakultas Ekonomi Unsyiah ini, produk parfum impor yang berkualitas bisa menjadi magnet bagi wisatawan untuk datang dan berbelanja ke Sabang."Bisa jadi nantinya orang datang ke Sabang hanya karena ingin berbelanja parfum. Bila sampai di Sabang, mereka juga pastinya akan menginap, akan makan dan belanja barang lainnya," kata Direktur Utama PT Makmur Inti Sawita ini.
"Parfum akan menjadi barang oleh-oleh bergengsi bagi setiap tamu yang datang ke Sabang. Jadi gak usah mikir yang muluk-muluk, gak usah mikir yang besar-besar. Bila Sabang mau membangun mall parfum, saya percaya itu akan menjadi daya tarik bagi wisatawan," kata pengusaha sukses ini.
Makmur menyebutkan, membangun mall parfum lebih masuk akal ketimbang mengimpor mobil, yang hanya bisa dinikmati sebagian orang. Mungkin nanti, ujarnya, akan ada pembatasan untuk besaran nilai barang (parfum) yang bisa menjadi barang 'tentengan' atau oleh-oleh sehingga bisa bebas bea bila dibawa keluar dari Sabang.
BPKS Sediakan Gedung
Plt. Kepala BPKS Sabang, Razuardi Ibrahim, dalam diskusi dengan penulis pada Jumat malam (1/3/2019) di Banda Aceh, mengutarakan dukungannya atas ide Makmur Budiman, yang menyarankan untuk membangun mall parfum di Sabang.
"Sebagai ikon Sabang menurut saya ide itu cukup cemerlang.Parfum bisa menjadi produk ikon untuk oleh-oleh bagi wisatawan yang datang ke Sabang," kata Razuardi.
Bahkan Plt. Kepala BPKS ini menantang pengusaha yang ingin berinvestasi membuka mall parfum impor di Sabang, untuk segera merealisasikan ide tersebut. Kata Razuardi, BPKS memiliki bangunan (gedung) yang sekarang masih kosong atau belum difungisikan, dan gedung itu bisa digunakan sebagai pusat penjualan parfum eks luar negeri.
"BPKS punya gedung yang bisa dipakai. Silahkan datang ke kita, nanti kita fasilitasi bila benar ada investor yang ingin membuka mall parfum," lanjut alumni Fakultas Teknik Unsyiah ini.
Menurut mantan Kepala Bappeda Bireuen dan mantan Sekda Aceh Tamiang ini, bila nanti pusat penjualan parfum berdiri, maka sebaiknya pengusaha menggandeng para pengrajin di Sabang atau Aceh daratan.
Kata Razuardi, kemasan atau tas parfum bisa diaplikasikan dari barang kerajinan anyaman yang diproduksi pelaku IKM (industri kecil dan menengah). Selain itu, barang kerajinan seperti tas tangan, dompet, pakaian bermotip etnik dan beragam jenis produk kerajinan lainnya juga bisa dititip jual di pusat penjualan parfum tersebut.
"Maka nanti dengan sendirinya akan terjadi perputaran ekonomi yang sangat menguntungkan Aceh, khususnya di Sabang," kata Razuardi mengakhiri obrolannya. (***)