Oleh : Mas Kumambang
Persoalan klasik yang hingga kini masih menghantui masyarakat, tak terkecuali investor dan pengusaha, adalah rendahnya mutu pelayanan dan penegakan hukum di negeri ini. Akibatnya, hukum belum bisa dijadikan sandaran bagi pencari keadilan.
Bukan rahasia lagi bahwa slogan “semua orang sama kedudukannya di depan hukum” masih sebatas pemahaman normatif, namun belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hukum seharusnya menjadi jangkar dalam negara demokrasi, ketika semua orang memperoleh perlakuan sama, bukan tergantung pangkat, jabatan dan kekayaannya.
Pelaksanaan aturan hukum juga masih sering diintervensi oleh kekuasaan. Selain itu, banyak penegak hukum belum mampu menjunjung sumpahnya dalam memberikan keadilan, masih memandang latarbelakang serta dipengaruhi berbagai kepentingan yang mempengaruhi keputusan hukumnya. Tidak mengherankan bila pandangan internasional, seperti hasil penelitian World Justice Project, menempatkan Indonesia pada posisi rendah dalam indeks penegakan hukum.
Salah satu hal yang sering dikeluhkan masyarakat, khususnya dunia usaha, adalah aturan yang sering berubah-ubah. Hal itu jelas mempengaruhi kepastian hukum, yang akibatnya bisa sangat luas. Dunia usaha sangat sensitif terhadap masalah ini karena mereka mempertaruhkan modal besar dan masa depan usahanya.
Kenyataan ini kontradiktif dengan keinginan untuk menggenjot investasi karena para pemodal membutuhkan kepastian hukum sebagai jaminan atas modal yang dipertaruhkan. Kepastian hukum tersebut tercermin pada konsistensi pemerintah dalam mentaati keputusan terdahulu untuk dijadikan pegangan dan tidak diutak-utik lagi sehingga menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu terjadi.
Jaminan Hukum
Kiranya benar slogan yang dipakai pemerintah dalam membujuk wajib pajak (WP) dalam program tax amnesty (TA) yang lalu, “Ungkap, Tebus, Lega”. Maksudnya, WP yang mengikuti dengan benar harus dijamin tetap “lega” dan tidak akan diungkit-ungkit lagi atau bahkan dipersoalkan di depan penegak hukum pada masa depan. Hal ini masih menjadi kekhawatiran sebagian WP. Dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang mungkin tetap “lega” tapi apakah ada jaminan di masa depan, setelah pemerintahan berganti, mereka akan tetap lega?
Kekhawatiran tersebut muncul karena pengalaman, rejim berganti aturan main seringkali berubah. Kita ambil contoh mengenai penyelesaian utang BLBI oleh Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Syamsul Nursalim yang kini dipersoalkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Tumenggung sudah ditetapkan sebagai tersangka dan KPK juga mengejar Syamsul Nursalim. Padahal, pemerintah mengeluarkan Surat Release and Discharge, kemudian Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk Pemegang Saham BDNI, atas dasar hukum yang kuat, antara lain Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.
Kita menghormati sepenuhnya langkah KPK dalam menyidik kasus yang sudah berlalu lebih 18 tahun. Namun pertanyaannya, mengapa masalah yang sudah dianggap selesai sesuai aturan hukum waktu itu, dibongkar lagi? Kenapa penegak hukum tidak mendahulukan kasus-kasus yang belum tuntas waktu itu? Padahal menurut Menkeu Sri Mulyani ada 22 obligor lain yang harus menyelesaikan kewajiban mereka.
Kita mendukung upaya pemerintah mengejar mereka yang membandel dan tidak menyelesaikan kewajibannya kepada BPPN, ketika itu. Pemerintah dan aparat penegak hukum memang harus tegas. Namun haruskah membongkar lagi masalah yang sudah dipandang selesai secara sah?
Diskresi
Kita mengikuti penjelasan pengacara Maqdir Ismail dan Otto Hasibuan bahwa pemilik BDNI sudah melunasi kewajibannya sesuai ketentuan pemerintah pada waktu itu. Ada berbagai produk hukum yang dikeluarkan untuk menangani kondisi khusus paska krisis ekonomi. Keputusan otoritas yang ditunjuk menangani kasus BLBI tentu mendasarkan pertimbangannya atas kondisi khusus agar tidak menimbulkan krisis yang berlarut-larut. Kebijakan khusus tersebut, mungkin, dalam bahasa yang sering digunakan Presiden Jokowi beberapa waktu terakhir, adalah diskresi pemerintah sesuai dengan kondisi yang ada.
Tampaknya mirip dengan diskresi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), termasuk Menkeu Sri Mulyani di dalamnya, ketika melakukan bail-out terhadap Bank Century beberapa tahun lalu. Sri Mulyani pernah mengatakan, kucuran dana talangan Rp 6,76 trilyun yang ia setujui dicairkan, diperlukan untuk mencegah efek domino atas sektor keuangan pada awal krisis tahun 2008.
Dalam kesaksiannya di pengadilan, Sri Mulyani berkata, “Sebagai pengambil keputusan, apa yang kami hadapi pada masa itu adalah (keputusan) mana yang akan membawa konsekuensi paling kecil… untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia,” katanya. ”Situasi pada masa itu menghadapi sebuah ancaman sistemik karena krisis ekonomi global,” katanya.
Dalam kasus BLBI, BPPN menyandarkan diri pada Inpres yang dikeluarkan Presiden. Artinya, penerbitan SKL ada dasar hukum yang dikeluarkan pemerintah. Skema MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) yang diikuti pemilik BDNI juga merupakan keputusan pemerintah. MSAA merupakan produk hukum yang mengikat dan berlaku bagi kedua belah pihak. Penyelesaian tersebut juga merupakan bagian program yang didukung dan disetujui oleh International Monetary Fund (IMF) serta World Bank.
Dalam Release and Discharge yang diberikan kepada Pemegang Saham BDNI dinyatakan bahwa, “Pemerintah mengakui dan setuju tidak akan memulai atau melakukan tuntutan hukum apapun atau menjalankan hak hukum apapun yang dimiliki, bilamana ada, terhadap Klien kami, Bank BDNI, para komisaris dan direkturnya, serta pejabat lainnya atas segala hal yang berkaitan dengan BLBI,” tegas Maqdir Ismail dan Otto Hasibuan dalam penjelasan tertulisnya pekan lalu.
Keputusan Pemerintah mengenai Release and Discharge, kemudian diperkuat dan dipertegas dalam Undang Undang RI No.25 tahun 2000 (“UU Propenas"), Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 serta lnpres No.8 Tahun 2002. Ditegaskan bahwa bagi pemegang saham bank yang telah menandatangani dan memenuhi kewajibannya dalam MSAA, wajib diberikan jaminan kepastian hukum.
Pada tahun 2002 BPPN kembali meminta dilakukan Financial Due Diligence dengan menunjuk konsultan keuangan internasional untuk menilai kembali aset yang telah diserahkan pemilik BDNI pada tahun 1999. Hasil financial due diligence tersebut menyataan bahwa tidak ada kekurangan atas nilai aset yang telah diserahkan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kemudian melaksanakan pemeriksaan terakhir terhadap penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS). Pada laporan hasil pemeriksaan MSAA BDNI tertanggal 30 November 2006, BPK berpendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan karena telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati.
Kita melihat bahwa proses penyelesaian utang tersebut berjalan panjang dan melalui tahapan-tahapan yang didasarkan atas keputusan pemerintah. Seluruh prosesnya berjalan sesuai aturan hukum waktu itu, sehingga lahir keputusan atau diskresi pemerintah ketika itu. Maka, apakah kita akan selalu mengaduk-aduk masa lalu sehingga kepastian hukum harus terus diuji? Apakah masuk akal bila di masa depan, ketika pemerintah sudah berganti, kita juga mengaduk-aduk lagi kasus Bank Century? Atau bahkan kebijakan tax amnesty karena kecurigaan terjadi moral hazard?
Ini pertanyaan yang perlu kita renungkan. Jangan sampai kebijakan pemerintah sendiri tidak memiliki kekuatan sebagai hukum yang mengikat sehingga pemerintah berikutnya menggugatnya dan membongkar lagi. Kalau begitu terus, kita semua akan senantiasa dirundung kebingungan. Ini barangkali salah satu masalah dalam kepastian dan penegakan hukum kita, yang saat ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain.
Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati ekonomi, tinggal di Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H