Diskresi
Kita mengikuti penjelasan pengacara Maqdir Ismail dan Otto Hasibuan bahwa pemilik BDNI sudah melunasi kewajibannya sesuai ketentuan pemerintah pada waktu itu. Ada berbagai produk hukum yang dikeluarkan untuk menangani kondisi khusus paska krisis ekonomi. Keputusan otoritas yang ditunjuk menangani kasus BLBI tentu mendasarkan pertimbangannya atas kondisi khusus agar tidak menimbulkan krisis yang berlarut-larut. Kebijakan khusus tersebut, mungkin, dalam bahasa yang sering digunakan Presiden Jokowi beberapa waktu terakhir, adalah diskresi pemerintah sesuai dengan kondisi yang ada.
Tampaknya mirip dengan diskresi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), termasuk Menkeu Sri Mulyani di dalamnya, ketika melakukan bail-out terhadap Bank Century beberapa tahun lalu. Sri Mulyani pernah mengatakan, kucuran dana talangan Rp 6,76 trilyun yang ia setujui dicairkan, diperlukan untuk mencegah efek domino atas sektor keuangan pada awal krisis tahun 2008.
Dalam kesaksiannya di pengadilan, Sri Mulyani berkata, “Sebagai pengambil keputusan, apa yang kami hadapi pada masa itu adalah (keputusan) mana yang akan membawa konsekuensi paling kecil… untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia,” katanya. ”Situasi pada masa itu menghadapi sebuah ancaman sistemik karena krisis ekonomi global,” katanya.
Dalam kasus BLBI, BPPN menyandarkan diri pada Inpres yang dikeluarkan Presiden. Artinya, penerbitan SKL ada dasar hukum yang dikeluarkan pemerintah. Skema MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement) yang diikuti pemilik BDNI juga merupakan keputusan pemerintah. MSAA merupakan produk hukum yang mengikat dan berlaku bagi kedua belah pihak. Penyelesaian tersebut juga merupakan bagian program yang didukung dan disetujui oleh International Monetary Fund (IMF) serta World Bank.
Dalam Release and Discharge yang diberikan kepada Pemegang Saham BDNI dinyatakan bahwa, “Pemerintah mengakui dan setuju tidak akan memulai atau melakukan tuntutan hukum apapun atau menjalankan hak hukum apapun yang dimiliki, bilamana ada, terhadap Klien kami, Bank BDNI, para komisaris dan direkturnya, serta pejabat lainnya atas segala hal yang berkaitan dengan BLBI,” tegas Maqdir Ismail dan Otto Hasibuan dalam penjelasan tertulisnya pekan lalu.
Keputusan Pemerintah mengenai Release and Discharge, kemudian diperkuat dan dipertegas dalam Undang Undang RI No.25 tahun 2000 (“UU Propenas"), Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 serta lnpres No.8 Tahun 2002. Ditegaskan bahwa bagi pemegang saham bank yang telah menandatangani dan memenuhi kewajibannya dalam MSAA, wajib diberikan jaminan kepastian hukum.
Pada tahun 2002 BPPN kembali meminta dilakukan Financial Due Diligence dengan menunjuk konsultan keuangan internasional untuk menilai kembali aset yang telah diserahkan pemilik BDNI pada tahun 1999. Hasil financial due diligence tersebut menyataan bahwa tidak ada kekurangan atas nilai aset yang telah diserahkan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kemudian melaksanakan pemeriksaan terakhir terhadap penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS). Pada laporan hasil pemeriksaan MSAA BDNI tertanggal 30 November 2006, BPK berpendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan karena telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati.
Kita melihat bahwa proses penyelesaian utang tersebut berjalan panjang dan melalui tahapan-tahapan yang didasarkan atas keputusan pemerintah. Seluruh prosesnya berjalan sesuai aturan hukum waktu itu, sehingga lahir keputusan atau diskresi pemerintah ketika itu. Maka, apakah kita akan selalu mengaduk-aduk masa lalu sehingga kepastian hukum harus terus diuji? Apakah masuk akal bila di masa depan, ketika pemerintah sudah berganti, kita juga mengaduk-aduk lagi kasus Bank Century? Atau bahkan kebijakan tax amnesty karena kecurigaan terjadi moral hazard?
Ini pertanyaan yang perlu kita renungkan. Jangan sampai kebijakan pemerintah sendiri tidak memiliki kekuatan sebagai hukum yang mengikat sehingga pemerintah berikutnya menggugatnya dan membongkar lagi. Kalau begitu terus, kita semua akan senantiasa dirundung kebingungan. Ini barangkali salah satu masalah dalam kepastian dan penegakan hukum kita, yang saat ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain.
Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati ekonomi, tinggal di Jakarta