Tulisan ini pernah dikirim ke media terbesar di Jawa Barat 9 januari yang lalu, bolehlah bila saya tulis kembali di sini, karena hingga tulisan ini saya upload di sini, belum jua di muat di media tersebut. Tak layak muat, pastinya.
“Kemenangan” kaum Golongan putih (Golput) pada Pilkada Kota Bekasi yang lalu, jangan dianggap sebelah mata. 51,19% kemenangan telak kaum Golput. Kemenangan ini bisa terjadi dalam pilkada-pilkada berikutnya, tidak menutup kemungkinan pada Pilgub Jabar yang akan datang. Tren meningkatnya Golput dari Pilkada ke Pilkada menunjukkan Golput bukan saja sebagai bentuk tidak partisipatif, tetapi, bisa saja itu merupakan sebuah pilihan (sikap).
Selama ini kita kerap menyaksikan pengambilan keputusan di gedung parlemen dengan cara pemungutan suara (voting). Dalam proses voting itu tidak jarang ada anggota dewan memilih golput. Golput ini merupakan sikap politik tidak memilih. Ketidakmemilihan ini bisa karena tidak setuju dengan pilihan-pilihan yang ada.
Namun, itu tidak terjadi pada proses pemilihan umum, baik Pemilu Presiden, DPR/DPRD atau Pilkada. Sehingga, rakyat yang tidak setuju dengan calon yang ada melakukan sikap golputnya, minimal, dengan dua cara. Pertama, tetap datang ke TPS, tetapi ia membuat tidak sah surat suara. Apakah dengan mencoblos seluruh calon atau justru tidak mencoblosnya sama sekali. Pokoknya apapun dilakukan agar surat suara itu tidak sah. Kedua, dengan cara tidak datang ke TPS. Berbagai survey membuktikan, tingkat partisipasi rakyat dalam berbagai pemilihan umum semakin menurun prosentasenya. Pertanyaannya, apakah para pemangku kepentingan menganggap ketidakhadiran rakyat di TPS itu sebuah kegagalan sosialisasi KPU atau karena memang rakyat sengaja tidak datang?
Sayangnya, sikap golput itu tidak dianggap sebagai sikap politik rakyat. Dalam sistem demokrasi yang berjalan saat ini, rakyat ‘dipaksa’ untuk memilih pilihan yang telah disediakan. Sementara, bila rakyat tidak setuju dengan keseluruhan pilihan yang ada, sikap golputnya itu diabaikan. Proses demokrasi tetap berjalan dan pendapat suara terbanyak tetap menjadi pemenang. Walaupun, jumlah suara pemenang lebih sedikit dari suara golput/golput. Atau bahkan di bawah suara Golput itu sendiri.
Bila benar Negara ini menganut sistem demokrasi, alangkah bijaknya bila tetap menghitung sikap politik golputnya itu. Elok bila dalam kertas suara ada kolom golput. Kolom ini untuk mengakomodir rakyat yang tidak setuju dengan pilihan yang ada. Sehingga, mereka yang golput masih tetap bisa datang ke TPS dan memilih kolom kosong.
Konsekwensi dari dimasukkannya kolom kosong (golput) dalam kertas suara, ia berhak untuk dihitung. Bila ternyata, jumlah suara golput lebih banyak dari jumlah pemenang, berarti ia menggugurkan kemenangan pendapat suara terbanyak. Sebab, secara legitimasi, mayoritas suara tidak menghendaki pendapat suara terbanyak menjadi pemimpin mereka. Seperti yang terjadi pada Pilkada Kota Bekasi. Bukankah, salah satu ciri demokrasi adalah suara mayoritas menjadi pemenang?
Namun, usaha mengakomodir golput tidak dapat terwujud dalam waktu dekat. Sebab, berbagai undang-undang dan peraturan dibuat untuk menghindari rakyat berbuat golput. Tentu saja, parlemen (yang berasal dari partai-partai) tidak menghendaki pemilih memilih bumbung kosong. Dengan sistem memilih langsung pun, sesama kader partai harus bersaing. Belum lagi bila ditambah harus meyakinkan pemilih agar tidak golput.
Golput terjadi karena beberapa sebab. Di antaranya, pertama, perbedaan ideologi. Sayangnya, ideologi sekarang ini tidak lagi menjadi landasan kekuatan politik. Ideologi bisa luntur oleh kepentingan kekuasaan, misalnya dalam keputusan berkoalisi. Rakyat sekarang tidak lagi mudah dibohongi. Sikap mementingkan kekuasaan benar-benar memuakkan dan bisa melahirkan semangat golput di berbagai lapisan rakyat.
Kedua, golput terjadi karena rakyat tidak puas dengan kinerja pemerintah yang berkuasa. Berbagai janji yang diutarakan ketika kampanye gagal terwujud. Bukannya mengejar ketertinggalan pembangunan, mempersempit jarak kesenjangan ekonomi, atau memperkecil jurang ketimpangan sosial, penguasa malah sibuk menebar pesona meningkatkan citra diri. Belum lama dilantik pun, mereka telah berpikir bagaimana agar lima tahun ke depan ia masih tetap menjadi penguasa. Sementara pekerjaan rumah melayani rakyat terabaikan.
Golput selama ini masih belum dianggap sikap politik. Golput dikategorikan kesalahan dalam memilih. Sudah saatnya golput diakomodir sebagai salah satu upaya pendidikan politik. Jangan dipaksa rakyat setuju dengan pilihan yang ada. Rakyat berhak tidak sepakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H