Memadamkan saja tanpa ada upaya penegakan hukum atas terjadi karhutla, seakan memberikan peluang terjadinya karhutla kapan saja saat terjadi musim kemarau. Salah satu metode penegakan hukum adalah dengan memberikan police line, pada kawasan terjadinya karhutla.Â
Pada saat terjadi karhutla, jarang ada pihak yang mengaku melakukan pembakaran hutan dan lahan, bahkan mengaku kebakaran hutan dan lahan terjadi pada kawasan yang dimiliki baik perseorangan mau pun perusahaan.Â
Namun dengan membuat police line pada kawasan karhutla, maka akan kelihatan pihak yang berkepentingan terhadap kelanjutan fungsi dari kawasan bekas karhutla. Hal tersebut dipandang perlu, mengingat sering dengan berlalunya waktu karhutla, maka pada lahan-lahan yang tadinya terkena karhutla, muncul tanamam-tanaman sawit baru. Â
Dengan demikian Police line areal kawasan karhutla dapat menjadi salah satu model untuk mengetahui pihak pihak yang berkepentingan atas terjadinya karhutla. Tentu saja hal itu juga harus diikuti denganj penegakan hukum tanpa pandang bulu.Â
Hal itu perlu ditekannkan karena, jika terjadi satu dan lain hal, pemilik kawasan yang tadinya terkena karhutla, lalu menanam pohon sawit, tidak terkena sanksi hukum, maka karhutla akan terjadi setiap tahun. Bencana asap pun akan kembali terulang setiap tahun.
Sesuatu yang sebetulnya ulah manusia, namun karena banyak orang terlalu fokus pada pemadaman karhutla, sementara sanksi hukumnya belum berjalan optimal, maka efek jera tidak muncul pada para pelaku pembakaran karhutla. Bagi masyarakat awam, hanya bisa menerima situasi dan kondisi bencana asap yang boleh dikatakan terjadi hampir setiap tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H