Hidup Bukan Bagai Wayang
"Mereka bagaikan wayang sahaja, ya Paman Sepuh," sela Putri Pembayun masih dalam posisi nonton acara di tv "Jalan Sehat Muslim".Â
"Melangkah ke sana, berbuat ini, berbuat itu. Kalau sudah takdir Allah menentukan, apalagi yang dapat kita perbuat. Bukan begitu paman Dipo ?
Contoh sederhana nih. Paman Dipo pergi ke sini, mau apa. Paman Dipo ingin mengajak Paman Sepuh turun gunung kan. Tapi hasilnya apa ? Kalian sibuk mikirin apa itu zuhud." celoteh putri Pembayun.
"Pembayun, hormat pada paman Dipo. Tidak seharusnya, kamu ikut nimbrung pembicaraan kami berdua. Apalagi kamu sampai tahu, apa yang sedang kami bicarakan, padahal kamu tidak di sini. Itu namanya kamu mencuri dengar pembicaraan orang lain. Kamu tahu itu bukan akhlak yang terpuji, Pembayun. This isn't your business. You know!" sergah Pangeran Sepuh Armanda.
"Paman Sepuh, mengapa paman Sepuh marah sama Pembayun, bukan marah kepada paman Dipo. Bukankah paman Dipo yang datang ke sini mau bikin 'horeg' situasi di sini. Belum lama paman Dipo berada di sini, paman Sepuh sudah mau menghardik Pembayun pula. Beraninya sama perempuan!" cetus putri Pembayun.Â
"Pembayun kamu!" sergah Pangeran Sepuh Armanda.
"Istighfar, kanda Armanda. Istighfar Pembayun." seru Pangeran Dipo, melihat paman dan keponakan itu bertengkar karena dirinya.
"Astaghfirullahaladzhim. Astaghfirullahaladzhim. Ampuni hambamu yang lemah ini ya Allah." lirih Pangeran Sepuh.
"Astaghfirullahaladzhim. Makasih paman Dipo, sudah diingatkan. Mungkin ponakanmu Pembayun ini terlalu lancang, ya. Berani beraninya mau ikut campur urusan petinggi. Kalau begitu, biar ponakanmu Pembayun bantuin Bunda Fitri saja. Siapa tahu telur asin oleh oleh dari Ki Koh Agil Brebes kesukaan paman Sepuh masih ada. Nanti Pembayun bawa ke sini untuk dihidangkan." tutur putri Pembayun manis.