Air Mata Langit
Dinda duduk tafakur. Hampir tidak ada lagi daya dan upaya yang dapat dilakukan Dinda. Walau pun Dinda duduk terpekur, tetapi hatinya hancur lebur. Dinda memikirkan Ratih Joachim Kun, putrinya yang cerdas dan berkarier bagus di perusahaan asing. Namun Ratih sudah tidak dapat lagi Dinda kendalikan.
Ratih memang cerdas seperti ayahnya. Halim, ayah Ratih memang seorang enginer. Ratih bahkan berani memutuskan untuk masuk ke fakutas tehnik, mengikuti jejak Halim. Padahal di fakultas tehnik kebanyakan mahasiswanya laki-laki. Ratih juga sangat supel. Ratih tidak memandang suku, agama dan ras dalam berkawan. Ratih betul betul mewarisi sifat-sifat Halim dalam berbagi hal. Begitu pedenya Ratih dalam menjalani hidup. Kebetulan ratih juga berhasil dalam studi. Rani juga sukses dalam bergaul.Namun kesuksesan Ratih itu, kini harus dibayar mahal oleh Dinda. Ratih tidak mau lagi mendengar keinginan Dinda ibu kandungnya.
"Mami Dinda. Mami Dinda enjoy aja. Ratih tetap sayang kok sama Mami Dinda. Tapi untuk yang satu ini, Ratih punya pilihan sendiri."
Begitu bisik Ratih kepada Dinda, jika kebetulan mereka berbeda pandangan. Ratih memang tetap menunjukkan sikap sopan dan hormat kepada Dinda. Padahal Dinda sering kehilangan akal sehat, kalau keinginan Dinda berbeda dengan yang ingin dilakukan Ratih. Sebagai orang tua, Dinda sering keinginannyalah yang harus dipenuhi. Dinda ingin Ratih sebagai anak harus mematuhi perintah Dinda. Aturan itu sering Dinda pegang. Dinda akan sangat marah, jika aturan itu diabaikan Ratih. Halim terkadang hanya dapat memeluk Dinda, kalau Dinda dan Ratih terlibat perselisihan pendapat.
Ratih seperti biasa merasa bahwa keputusan yang diambilnya sudah benar. Ratih selalu berpikir bahwa Ratih sudah mempersiapkan segala sesuatunya, sebelum Ratih mengambil keputusan. Ratih terbiasa dengan menggunakan pola empirik, rasional dan kuantitatif dalam berbagi hal. Tentu kebiasaan Ratih itu, sangat berbeda jauh dengan pengalaman Dinda dahulu. Â Memang perbedaan itu terjadi dalam berbagai hal yang tidak begitu penting, seperti memilih sandal, sepatu, tas, baju, atau memilih restoran tempat makan bersama. Halim sering dibikin repot dengan duo cewek kesayangannya itu. Satu isteri. Satu lagi anak gadis kesayangannya.
Namun perselisihan itu betul betul memuncak ketika Halim memberikan lampu hijau saat Ratih memilih pasangan hidupnya dari lingkungan keyakinan yang berbeda. Nama pria itu Joachim Kun. Ratih teguh mempertahankan bahwa Ratih tidak akan melepas keyakinannya. Sementara Dinda berkeras tidak setuju dengan keputusan Ratih. Walupun akhirnya Dinda harus mengalah. Ratih sudah terbiasa begitu dengan Dinda. Ratih sudah terbiasa melawan pendapat Dinda, ibu yang melahirkannya.
Dalam perih, Dinda hanya bisa bersedih. Dinda tidak tahu harus mengadu kepada siapa. Halim seperti biasa, kerjanya hanya memeluk saja. Dinda tahu Halim sangat sayang kepada Dinda. Dinda juga tahu bahwa Halim sangat bangga kepada Ratih. Halim ingin Dinda dan Ratih bahagia. Memang walaupun Ratih sering tidak mematuhi perintah Dinda, Ratih tidak pernah berlaku kasar kepada Dinda. Ratih selalu pandai merayu Dinda. Ratih bahkan tidak pernah mau melakukan keputusannya, kalau Dinda belum setuju. Dinda lalu sering mengalah. Dinda tidak tega memaksakan kehendaknya kepada Ratih.
Tapi sekali ini, Dinda betul betul berang. Dinda marah besar kepada Ratih. Ratih  dianggap Dinda sudah melanggar janji. Ratih ingin pindah keyakinan mengikuti keyakinan suaminya, Joachim Kun, ketika Ratih sedang mendapat tugas belajar ke Amrik, bersama suami dan anak-anak Ratih, Cecep dan Derna. Sakitnya lagi hati Dinda, Ratih hanya memberitahukan hal itu lewat telepon. Walau pun Ratih tetap hormat dan terus menangis, minta maaf atas rencana keputusannya itu. Halim sudah berada di pusara. Dinda sendirian menanggung beban derita, sedihnya karena keinginan Ratih anak kandungnya.  Dinda betul betul terpukul.
"Ya Allah. Apa salah dan dosa hamba.