“Untung tadi kita pakai mantel model pakaian ini ya mas”, bisik isteri beberapa saat setelah meninggalkan orang orang yang sedang duduk duduk di simpang tadi.
“Ya. Mereka tidak tahu, kalau ada cewek naik motor malam-malam begini .... hihi.”
“Ayo. Perhatikan jalan di depan, mas”, sambil memeluk lebih kuat. Maklum hari memang sudah lewat tengah malam. Cahaya lampu motor tidaklah begitu kuat. Jalanan sepi, tidak ada lagi orang yang berduyun duyun lewat dari arah berlawanan seperti tadi lagi. Masih harus pula mencari jalan belok yang lebih kecil lagi, jika sudah menemukan jalan simpang. Akan berabe kalau sampai terlewat, kalau hanya bisa balik kembali masih mending, khawatirnya kalau harus kembali ke arah simpang tempat orang orang yang duduk duduk itu, kan jauh. Bukan hanya itu, malu lagi. Bisa bisa ketahuan kalau ada cewek yang dibawa. Berhati-hati lebih baik dari pada bolak balik mencari jalan, karena hari sudah lewat dari tengah malam.
Deru motor sendiri pun memecah kesunyian malam. Udara dingin juga mulai menyergap. Rasa sok pede, masih bergemuruh di dada. Namun tidak dapat dipungkiri tangan yang memegang gas mulai tidak stabil. Ketika akhirnya jalan simpang seperti petunjuk yang diberikan itu jumpa, maka arah perjalanan membelok ke jalan yang lebih kecil.
Ternyata jalan seperti yang diberikan petunjuk itu memang jalan yang harus dituju. Jalan itu bukan hanya lebih kecil, karena merupakan jalan pintas dari kota kecil yang satu ke kota kecil lainnya, yang dilingkupi pegunungan berbukit bukit. Begitu masuk ke jalan tersebut, maka kalau jalannya relatif lurus, maka di sebelah kiri atau kanan atau bahkan masih ada di depan, bukit yang tinggi menjulang seolah ingin menimpa kami di jalan. Langit begitu berkuasa saat itu. Kalau saja runtuh, habislah kami berdua. Keringat dingin mulai mengalir. Jika jalannya menanjak, terkadang bahkan ada pohon pohon besar di kanan kiri jalan. Sesekali ada rerumputan. Pada suatu tanjakan, tiba-tiba mesin motor mati. Astaghfirullah. Ketakutan mulai merayap di jantung rupanya. Tangan mulai tidak pas lagi mengatur gas. Tanjakan membuat gigi dan gas tidak sesuai lagi. Motor pun berhenti di kegelapan malam itu.
Kontan sembari dremimil, doa dan dzikir pun tak bisa lagi lepas. Masih dengan sedikit pede yang tersisa, motor pun dicoba untuk dihidupkan. Alhamdulillah, motor bisa hidup. Namun ketika lampu motor menyorot ke arah pepohonan, nampak seperti ada lampu menyala kelihatan dari jauh.
“Bagaimana kalau kita istirahat dulu ke sana”, bisik emjeka kepada isteri.
“Nggak usah. Terus saja.”
Beruntung emjeka mengikuti nasehat istri. Memang mencurigakan juga sih, tadi sewaktu motor mati, dan sekeliling gelap gulita, mengapa justru ketika motor sudah bisa hidup, kok malah ada lampu di kejauhan. Maka niat untuk melanjutkan pun akhirnya diteguhkan. Apa pun resikonya. Lebih aman kalau berjalan terus dari pada berhenti untuk istirahat menuju suatu tempat yang tidak diketahui di malam gelap gulita begini. Kondisi kanan kiri, hanyalah bukit dan pohon pohon, Ya Bukit dan pohon pohon. Tetapi jepitan isteri makin kuat ketika ada kenampakan ganjil di depan. Ada orang orang yang seperti pohon di tepi jalan. Ada sepasang orang tua yang berjalan pakai sarung tetapi setelah dekat tidak punya kaki.
“Mas itu tadi apa ?”
“Tidak ada apa-apa”