[caption caption="Pantai berpasir putih di Rupat Utara"][/caption]
"Yah"
"Ya. Put"
"Kata ayah. Ayah punya teman di sini"
Ini kan Bandara Sulthan Syarief Qasim II, pikir Pujangga Halim. Siapa ya temanku yang berdomisili di kota ini. Pekanbaru. Pekanbaru-Pekanbaru, aduh siapa nih. Puput bikin pusing ayah saja.
"Ayah sering dapat salam dari pejabat Bengkalis" lanjut Putri Raisani.
"Oh, ya. Emjeka, baru ayah ingat"
"Kita temui, yuk, teman ayah itu"
"Sebentar, kalau nggak salah, ayah punya no hpnya", seru Pujangga Halim.
"Assalamualaikum, pak Haji"
"Waalaikum salam, mentor. Apa kabar ? Posisi sedang di mana nih. Kita belum pernah kopdar ya?", seru suara dari seberang sana. Suara Emjeka.
"Alhamdulillah, baik, mas. Ada waktu untuk kopdar ?"
"Posisi Mentor di mana, sekarang ?"
"Bandara SSQ II"
"Wah jauh, ya. Tapi betul pengin jumpa nih. Bagaimana kalau ke Rupat Utara. Di sana ada destinasi wisata yang indah. Pantainya berpasir putih, landai, kalau sedang surut dapat menjorok 100 meter ke arah laut."
"Rupat Utara ...."
"Apa kata sahabat ayah, Rupat Utara. Puput mau ke sana, ayah"
"Baik, dari Pekanbaru ke Rupat Utara, ke mana dulu harus dituju ?"
"Dumai, Mentor. Nanti ada kapal roro yang dapat membawa mobil Mentor ke Rupat"
"Baik, kami menuju Rupat sekarang. Insya Allah"
"Terima kasih, ayah. Ayah mau mengajak Puput ke Rupat", seru Putri Raisani manja.
"Kebetulan arahnya sama Put, tapi memang agak ke luar jalur sedikit."
"Oh, ya. Ayah. Bunda mari kita bersiap. Kita tinggal bertiga nih. Tante Ming, sudah terbang duluan ke Jawa, bukan ?. Satria pun mungkin sudah sampai Singapura. Di sana mungkin transit dengan SQ ke Belanda terus ke Swiss"
"Puput tak ingin merindukan Satria, Bunda."
"Kanda Halim, ayo cepat kita berangkat ke Rupat Utara", Bunda Lilik tahu putrinya sedang gundah. Katanya saja tak mau merindukan Satria. Padahal tatapan matanya kosong. Mana ada orang yang tidak rindu, tatapannya begitu. Puput harus dihibur nih. Bagus juga kalau berwisata ke Rupat Utara dulu, pikir Bunda Lilik.
Dari Pekanbaru, rombongan menuju Dumai. Kota pelabuhan yang merupakan bagian dari Provinsi Riau. Sesampai di Dumai, rombongan masuk ke antrian kapal roro yang akan menyeberangkan mobil mereka ke Rupat.
 [caption caption="Antrian masuk ke kapal roro Dumai Rupat"]
Setelah menyeberang ke Pulau Rupat. Perjalanan dilanjutkan lewat jalan darat menuju Destinasi wisata Rupat Utara.
Jalan di pulau Rupat sudah bagus. Nyaman sudah setingkat jalan nasional. Walaupun memang dari Rupat Selatan menuju Rupat Utara masih jauh. Belum seluruh jalan bagus, namun sudah relatif nyaman dan lebar. Sesampai di Rupat Utara, kami kecapaian langsung tidur.
[caption caption="Jalan di Rupat aspal setingkat jalan nasional"]
Sudah agak malam Putri Raisani terbangun. Di sebuah bangunan yang menjorok ke laut, samar Putri Raisani melihat ayahnya Pujangga Halim sedang ngobrol hangat dengan dua orang yang sepertinya Putri Raisani pernah kenal tapi di mana. Ayahanda Pujangga Halim ditemani oleh Bunda Lilik.
Tiba tiba salah seorang dari mereka menyapa Putri Raisani, bapak itu kebetulan kepalanya plontos.
"mBak Puput, mari gabung ke sini"
Putri Raisani merasa malu, walaupun ayah ibundanya ada di sana. Akhirnya Putri Raisani, makan dan sholat dulu. Setelah itu kembali berbaring.
Dalam tidur, Putri Raisani bermimpi. Seolah Putri Raisani ingin bergabung dengan bapak yang kepalanya plontos tadi. Putri Raisani segera beranjak ke luar. Betul saja ternyata Bapak yang kepalanya plontos tadi masih ngobrol dengan seorang pemuda ganteng. Ketika melihat Putri Raisani ke luar, segera bapak plontos itu menyapa lagi.
"Lima, ayo gabung sini"
Lima, mengapa mereka  memanggilku Lima ? Pikir Putri Raisani. Mungkin aku dianggap orang ke lima nih. Setelah mereka berdua, ayah bunda, lalu aku Puput. Jadi mereka memanggilku Lima. Enak saja, orang orang ini. Tapi Puput ingin tahu apa yang mereka kerjakan. Dan yang lebih penting lagi, Puput mau tahu keindahan Pantai Rupat Utara.
Setelah mendekat, kemudian mereka mengajak Putri Raisani berjalan menuju laut. Masya Allah indah sekali.Di tengah malam begini bisa main pasir di pantai sampai jauh menjorok ke laut. Tiba tiba mereka mengajak duduk. Entah kenapa kok Puput mau saja ikut.
Pemuda ganteng tadi lalu menulis angka  Lima di depan Puput. Tiba tiba terdengar suara dari langit, Asyaduala illaha illallah wa asyhaduanna muhammadarrosullah. Badan Putri Raisani bergidik, gemetaran. Setelah itu dirikanlah sholat, berpuasalah di bulan Romadhan, tunaikanlah zakat dan berangkatlah haji ke tanah suci jika sudah mampu.
"Ayo ganti mBak Puput bikin angka disebelahnya" kata si wajah ganteng.
Tanpa Putri Raisani sadari, tiba tiba dia menuliskan di pasir pantai Rupat Utara itu angka 6 di sebelah angka 5.
Kemudian si wajah ganteng minta, bapak kepala plontos itu juga menulis angka. Dengan tenang bapak itu menuliskan angka 1 di sebelah angka 6 yang Putri Raisani tulis. Jadilah ada deretan angka 561 di pantai berpasir itu.
Wah sudah pukul 2 dini hari ayo kita istirahat. Putri Raisani ikut beranjak, begitu hampir sampai ke pinggir, Putri Raisani menoleh ke belakang. Si pemuda ganteng seolah tahu isi hati Putri Raisani, disenterlah tulisan angka tadi. Walaupun sudah mulai terkena air laut sebagian tapi angka angka itu masih kelihatan dengan jelas 561.
Tiba tiba pintu kamar Putri Raisani digedor gedor. Kemudian remang remang Bunda Lilik masuk ke kamar, mungkin pakai kunci ke dua.
Puput. Kamu belum makan lho dari tadi. Sudah sholat Isya belum.Â
Putri Raisani bengong. Jadi angka angka itu, pemuda ganteng itu hanya mimpi ? Masya Allah. Temukan Puput dengan dia Bunda.
[caption caption="Tempat nongkrong yang eksotis"]
episode ke 8 edisi Ontran Ontran di Kerajaan Matraman Raya
episode 2: http://fiksiana.kompasiana.com/masjokomu/putri-raisani-menuju-kota-raja_573b32a5b77a616b093724a6
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H