Mohon tunggu...
MJK Riau
MJK Riau Mohon Tunggu... Administrasi - Pangsiunan

Lahir di Jogja, Merantau di Riau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membaca Qur'an Tak Tahu Arti, Apalah Guna

14 Juni 2016   05:21 Diperbarui: 14 Juni 2016   07:28 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Membaca Qur'an tak tahu arti, apalah guna."

"Membaca Qur'an tak tahu arti apalah guna."

Agak terganggu saya mendengar senandung ini. Perlahan saya buka pintu. Di luar nampak ada serombongan anak-anak sedang pulang ngaji. Kelihatan masih ada yang bawa Al Qur'an. Tiba-tiba mereka teriak lagi.

"Membaca Qur'an tak tahu arti, apalah guna"

"Eh, kamu", saya kejar salah satu anak agak kecilan, yang paling dekat dengan jangkauan.

Mukanya pucat, ketakutan, karena bajunya saya cengkeram.

"Coba kamu ulangi, senandung tadi!"

"Membaca Qur'an tak tahu arti, apalah guna"

"Berani kamu ya. Masih bawa Al Qur'an. Tapi bersenandung seperti itu!"

"Ampun, Pak. Saya cuma ikut-ikutan teman"

"Ikutan, ikutan, apa ? Kalau sudah berani ngomong harus berani bertanggung jawab"

"Ampun, Pak. Ampun saya masih kecil"

"Besar kecil. Ya harus dihukum"

"Ampun, Pak. Ampun saya hanya main-main"

"Main-main. Memang hidup itu main-main. Heh"

"Ampun, Pak. Ampun, saya jangan disiksa"

"Yang mau siksa kamu siapa. Kan saya bilang, kamu harus dihukum"

"Baik, Pak. Baik saya mau menerima hukuman"

"Nah, begitu kan enak. Ngomong-ngomong siapa namamu ?"

"Budi, Pak"

"Nama yang bagus. Baik kamu lihat, ada keranjang pengangkut rumput di tepi rumahku itu"

Budi celingukan, mencari keranjang pengangkut rumput. Begitu kelihatan ada keranjang bolong, kotor, pengangkut rumput di tepi rumahku. Dia kemudian mengangguk.

"Kamu ambil air, dari mata air di desa ini. Bawa ke bak mandi rumahku"

"Tapi keranjangnya bolong-bolong, lagi pula kotor. Bagaimana bisa untuk mengambil air dari mata air di desa, yang jalannya mendaki. Kemudian harus pula dibawa ke kamar mandi Bapak"

"Hus, kamu banyak tanya. Tadi kamu katanya mau dihukum, asal tidak disiksa"

"Ini lebih berat dari pada disiksa"

"Apa katamu ?", sambil bajunya kurengut terus kutarik mendekati lehernya. Namanya juga anak-anak tentu takut.

"Ampun, Pak. Budi bersedia"

"Nah itu baru orang yang bisa menepati janji"

Budi kemudian bolak balik menuju mata air di desa yang jalannya mendaki, mengambil air, kemudian sambil berlari, membawanya ke kamar mandi rumahku. Setelah hampir setengah hari, bolak balik dari mata air di desa, menuju kamar mandi ku. Yang tentu saja tak pernah bisa penuh, karena airnya selalu hilang di jalan. Keranjangnya saja bolong-bolong. Itu keranjang kan untuk pengangkut rumput, bukan air.

"Ampun, Pak. Budi nyerah deh. Sudah capek Budi menjalani hukuman.  Tapi tidak juga berhasil, membawa air ke bak mandi Bapak."

"Ternyata kamu gigih juga Budi. Tetap bersemangat tinggi. Padahal kamu tahu tidak akan pernah berhasil. Mudah mudahan bukan karena takut dihukum tapi karena ingin memegang janji"

"Kamu masih ingat senandung yang kau ucapkan tadi ?"

"Masih Pak"

"Coba kamu ulang lagi"

"Membaca Qur'an tak tahu arti, apa gunanya ?"

"Coba kamu lihat keranjang yang kamu pakai untuk mengangkut air dari mata air di desa, sampai ke bak mandi saya"

Budi melihat keranjang pengangkut rumput itu sekarang bersih.

"Maksud Bapak ?"

"Ada tidak bedanya, dari sebelum kamu pakai mengangkut air dengan setelah kamu pakai mengangkut air ?"

"Ada Pak"

"Apa bedanya. Bisa kamu ceritakan Budi"

"Bisa Pak. Sebelum saya pakai untuk mengangkut air, keranjang pengangkut rumput itu kotor berdebu. Sekarang keranjang itu bersih"

"Sama dengan kalau kamu membaca Qur'an. Walaupun kamu tidak tahu artinya. Jiwamu akan bersih. Rumahmu akan dipenuhi Malaikat. Rumahmu akan harum. Jadi jangan berpikir kalau membaca Qur'an tidak tahu artinya, tidak ada guna"

 

Bengkalis 14 Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun