[caption caption="Diambil dari detik bola"][/caption]Ketika Pep harus menelan pil pahit, gagal membawa Bayern ke Final Liga Champions, sesunguhnya rasa perih itu sangat menghunjam sampai di ulu ati. Sungguh Pep merupakan pelatih yang dapat membawa rasa haru dalam even-even tertentu. Kegagalan Pep meraih sukses dalam ketika barca dikandaskan Chelsea, di mana Torres dan Drogba berperan besar, sungguh tidak disangka-sangka. Saat itu, bagaimana Pep disibukkan mengatasi jadwal El Classico, Liga Champions yang sangat berdekatan. Serangan psikologi Mou yang seolah tanpa henti saat memimpin Madrid kepada Barca, sungguh sudah menguras pikiran, tenaga dan jiwa Pep Guardiola. Tidak dapat dipungkiri, Pep merupakan pelatih fenomenal saat itu. Berhasil memberikan 14 piala kepada Barca, 2 kali Juara Piala Champions di antaranya, Piala Super, yang tak pernah dapat dirasakan Mou, sungguh suatu bukti nyata, bahwa Pep memang pelatih bola yang fenomenal.Â
Ketika kemudian Pep menyepi. Barca pun kocar kacir, bahkan tanpa piala. Chelsea juara dengan mahkota goyang. Mengkandaskan Bayern di Final Liga Champiosn. Memenangkan Liga Champions tetapi kalah di Piala Super. Lalu muncullah Bayern sebagai Juara Liga Champions, Chelsea juara Piala Eropa. Mou hengkang dari Madrid. Seolah tugas Mou sudah selesai di Madrid. Bukan membawa Madrid Juara Liga Champions, tetapi mengkandaskan karier Pep di dunia bola. Tidak dapat dipungkiri ke dua pelatih ini sama sama fenomenal. Dua pelatih yang berbeda prinsip dalam memainkan sepakbola. Pep dikenal sebagai pelatih sepakbola indah, sepak bola menyerang. Mou dikenal sebagai pelatih sepakbola pragmatis, sepakbola bertahan, manajer parkir bus. Bahkan ketika Pep sudah mulai akan melatih Bayern, sebagai Juara Liga Champions, Mou pun mengambil kesempatan melatih Chelsea, yang kebetulan pula Juara Piala Eropa. Dus, ketika keduanya bertemu di area netral, bukan satu liga di La Liga, tetapi di ajang Eropa, memperebutkan Piala Super, maka aroma persaingan ke dua pelatih ini begitu terasa. Semua taktik dan strategi sebagai pelatih handal mereka keluarkan untuk memimpin anak-anak asuhnya berlaga, Bayern di bawah Pep dan Chelsea di bawah Mou, walaupun ke dua pelatih fenomenal ini baru saja menukangi ke dua klub hebat tersebut dalam waktu singkat. Bahkan belum sama sekali melakukan pertandingan di Liga masing-masing, Pep di Bundesliga dan Mou di EPL. Hasilnya Pep membuat terharu, memenangkan Juara Piala Super:
Pep sebagai pelatih bertangan dingin, merupakan icon pelatih sepakbola menyerang yang mempertontonkan sepakbola indah, menjadi satu-satunya pelatih yang diharapkan dapat mengkandaskan Atletico musim ini di Liga Champions.Â
Hal itu dapat dimaklumi karena Atletico tiba-tiba muncul sebagai klub yang mampu menaklukan tim-tim besar. Madrid di bawah Zidane di La Liga dan Barca didi Liga Champions. Jadi memang hanya Pep lah yang dapat menjadi tumpuan harapan pengagum sepakboola indah, sepakbola menyerang, sayang itu dibalut dengan aroma kapitalisme. Hanya klub yang mempunyai pemain hebat yang mampu melakukannya. Pep lah yang mampu merepresentasikan ksemuanya itu.
Keberhasilan Zidane menukangi Madrid, karena mampu bicara dari hari ke hati, membangkitkan para pemain bintang di Madrid seolah sirna, karena kalah dengan Atletico di La Liga, bahkan untuk yang pertama kalinya, ketika Zidane menangani Madrid dalam waktu kurang dari 4 bulan. Atletico seolah diberikan kesempatan oleh sejarah, untuk menjadi yang terbaik, menjadi yang terbesar di bawah kendali Simeone pada musim ini. Mampu mempecundangi Barca di perempat final Liga Champions. Meredam daya dobrak Bayern di bawah Pep. Membuat Atletico menjadi agen kekuatan dari pinggiran, kekuatan sepakboola rakyat kecil, kekuatan sepakbola minim modal, dus minim pemain bintang yang harganya mahal. Beda dengan Madrid.Â
Atletico sebelum pertandingan final sangat dijagokan banyak orang. Revans dengan Madrid waktu La Decima. Taktik dan strategi Madrid dalam meraih La Decima pun dimainkan Simeone tanpa malu-malu. Bagi Atletico menjadi juara Liga Champions musim ini adalah harga mati.
Namun sesungguhnya memang Atletico berpikir bahwa dalam bola, tidak ada yang dapat memastikan apa yang terjadi di lapangan. Simeone sebagai pelatih pragmatis dinamis yang justru lebih cerdik dari pada Mou, lebih banyak tutup mulut. Beda dengan Mou. Tidak dapat dipungkiri Simeone memang pelatih tangguh. Dalam bermain bertahan dan mengandalkan serangan balik untuk memperoleh kemenangan, Simeone tidak memberikan kesempatan pemain lawan untuk dapat merangsek langsung dan cepat ke garis pertahanan dan mempraktekan gaya parkir bus di depan gawang. Simeone justru menantang pemainnya untuk mengganggu pergerakan pemain lawan yang sedang memegang bola, secara efektif mengelilingi pemain lawan di garis pertahan mereka. jangan sampai bola bergulir terlalu sering di garis pertahanan. Namun jika sudah terjadi serangan kuat dari lawan, taktik serangan balik yang efektif tetap dilakukan. hasilnya, Atletico mampu mengkandaskan Madrid di La Liga. Menumbangkan Barca di perempat final Liga Champions. Melukai Pep di semifinal Liga Champions.
Namun rupanya Zidane banyak belajar dari kekalahannya menghadapi taktik dan strategi Simeone. Sebagai simbol sepakbola menyerang dan juga cenderung memainkan sepakbola indah, Zidane seolah diberi pelajaran berharga ketika dikalahkan Simeone di La Liga. Kemampuannya membangkitkan, medorong, memimpin para pemain bintang dari hati ke hati, menjadikan Zidane pelatih yang berhasil membawa pemain-pemain bintang di Madrid patuh. Mereka tidak dapat menolak instruksi dan pendekatan Zidane. Zidane telah membuktikan semuanya. Zidane adalah pemain bintang di zamannya, seperti mereka sekarang. Zidane mampu membawa klub dan negaranya menjulang di dunia bola. Tidak ada yang lebih dari mereka terhadap Zidane. Di bawah Zidane, Madrid bagaikan singa yang bangkit dari pesakitan.Â
Ketika Madrid mampu menaklukan Barca di kandang, Zidane sempat berkomentar, ternyata Madrid bisa juga bermain bertahan. Madrid memenangi laga demi laga di Liga Champions dengan penuh kekhawatiran. Tapi tidak dapat dipungkiri, semangat untuk juara telah bangkit di dada pemain Madrid. Perjuangan Madrid serius di semua laga baik di La Liga yang sempat mengancam Barca yang justru dilepaskan Atletico, terus menguat. Kalau Atletico menggunakan taktik dan strategi Madrid dalam meraih La Decima. Zidane justru menggunakan taktik dan strategi Simeone dalam memimpin Madrid di Liga Champions. hasilnya Madrid menjadi Juara Liga Champions musim ini. Mengalahkan Atletico di final, suatu hal yang dikhawatirkan Simeone terjadi. Madrid mempunyai mental Juara.Madrid membawa bendera sepakbola menyerang yang tidak malu bertahan. madrid membawa sepakbola indah dengan balutan kapitalisme. Mereka semua menggemakan koor di seluruh dunia, bahkan sebelum pertandingan final berlangsung. Kekhawatiran publik atas minimnya pengalaman Zidane yang baru saja memimpin Madrid selama 5 bulan, sedang Simeone sudah bertahun ditepis mereka, dengan isu, Madrid selalu menang lawan atletico di Liga Champions. Dan itu terbukti dini hari tadi.
Zidane telah membawa Madrid meraih un Decima. Zidane muncul sebagai pelatih fenomenal. Â Â Â
[caption caption="Penggemar Zidane"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H