Mohon tunggu...
MJK Riau
MJK Riau Mohon Tunggu... Administrasi - Pangsiunan

Lahir di Jogja, Merantau di Riau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kembalikan UN Sebagai Indikator Mutu, Bukan Syarat Kelulusan

4 April 2016   07:19 Diperbarui: 5 April 2016   16:43 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ujian Nasional tingkat SMA/sederajat. KOMPAS/YUNIADHI AGUNG"][/caption]UN atau Ujian Nasional seharusnya dapat menjadi jembatan emas bagi siswa untuk dapat meningkatkan kompetensi dan meneguhkan komitmen bagi jalan panjang menempuh jalur pendidikan yang lebih tinggi atau memilih jalur mengembangkan karier sesuai dengan situasi dan kondisi serta tantangan dan hambatan yang dihadapi siswa setelah mengenyam jenjang pendidikan. 

Namun yang terjadi UN sering menjadi momok bagi sebagian besar siswa. Langkah langkah irasional pun sering dilakukan supaya dapat lulus UN. Dari langkah untuk mencari jalan menggapai kekuatan dunia gaib, sampai langkah-langkah pragmatis menyiasati politik UN.

Tidak sedikit siswa yang sampai harus menjalankan doa bersama bahkan mungkin sampai ada yang mencapai "trance", saking seriusnya. Namun ada juga yang menempuh jalan gelap dengan jaringan yang tidak jelas juntrungannya mengenai jual beli jawaban soal. 

Semakin menjelang subuh semakin mahal harga, dengan alasan supaya tidak terdeteksi oleh pihak yang berwajib. Atau bahkan kondisi buruk di ruang ujian atau sekolah yang memungkinkan munculnya praktek gotong royong dalam mengatasi masalah besar.

Mengedankan kejujuran untuk mendorong para siswa dan seluruh komponen pendidikan dalam UN, merupakan suatu hal yang patut dipuji. Bukan prestasi tinggi yang didapat dari kerja "gotong-royong" atau situasi kondisi pargmatis lainnya yang dapat membanggakan. Tetapi adalah prestasi karena kejujuran lah modal utama, menempuh jalan panjang, terjal, mendaki lagi sulit untuk memperoleh jenjang yang lebih tinggi. 

Namun hanya mengandalkan kejujuran saja untuk memompa motivasi peserta UN, mungkin belum cukup. Perlu ada langkah-langkah terobosan seperti mempersiapkan mental untuk mendorong siswa tidak merasa jatuh ke jurang jika tidak lulus UN, seperti upaya masyarakat membantu jalur pendidikan untuk anak-anak putus sekolah seperti Tampan (Taman Pendidikan Anak Negeri) di Pekanbaru, Riau.

Usaha-usaha masyarakat untuk care kepada anak anak putus sekolah --karena korban tidak lulus UN-- perlu digalang secara komprehensif, integral, kontinu dan viral di seluruh pelosok wilayah tanah air. Komitmen masyarakat banyak dalam membantu peningkatan mutu pendidikan dapat menjadi pintu masuk bagi pelaksanaan program bebas pungutan. 

Teknis aturan tidak boleh melaksanakan pungutan kepada anak didik atau keluarga anak didik dengan menekankan tidak menolak sumbangan suka rela tanpa tekanan, bagi masyarakat peduli pendidikan, dapat menjadi alternatif untuk mengatasi kesulitan biaya operasional di sekolah yang ingin menerapkan program pendidikan bebas pungutan.

Pendekatan pengembangan sekolah ramah anak, dengan dukungan positif melalui pelaksanaan program kabupaten/kota layak anak, dapat menjadikan siswa mempunyai motivasi tinggi untuk meningkatkan kompetensi dibandingkan dengan aturan aturan kaku, berupa perhatian tinggi pada siswa yang berprestasi, namun menerapkan hukuman keras pada siswa yang ke luar jalur. 

Kekerasan di lingkungan sekolah yang mungkin saja masih terjadi pada anak didik dari komponen pendidikan di sekolah dalam menerapkan aturan kaku dengan jargon penegakan disiplin yang dapat memberatkan anak didik apalagi secara fisik, perlu segera ditinggalkan. 

Komitmen yang tinggi terhadap perhatian pada anak didik perlu dikembangkan terus menerus. Kalau pengembangan pendidikan ramah anak dapat menjadi bukan hanya target tetapi komitmen tinggi komponen pendidikan di sekolah, barangkali kasus Angeline tidak pernah terjadi di negeri ini.

Pendidikan yang layak dan bermutu juga menjadi salah satu daya dorong untuk menggalang Gerakan Indonesia Pintar. Pemenuhan fasilitas pendidikan secara terus menerus perlu mendapat perhatian bukan saja dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, namun juga seluruh pemangku kepentingan yang secara langsung maupun tidak langsung terhubung dengan dunia pendidikan. 

Kelompok masyarakat terdidik, "the have", bahkan perusahaan harus bekerja sama dalam program pengembangan sekolah berbasis masyarakat.

Aturan aturan perlu diterjemahkan secara benar dan dilaksanakan untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan bukan untuk menghantui masyarakat. Kembalikan UN sebagai indikator mutu, bukan syarat kelulusan siswa. Politik pendidikan yang perlu menjadi perhatian publik.

Selamat menempuh UN anak-anakku. Kalian adalah ujung tombak Gerakan Indonesia Pintar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun