Mohon tunggu...
MJK Riau
MJK Riau Mohon Tunggu... Administrasi - Pangsiunan

Lahir di Jogja, Merantau di Riau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Tokoh Karno yang Teguh Memegang Janji, Tidak Populer?

31 Oktober 2015   16:29 Diperbarui: 31 Oktober 2015   17:40 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di antara 3 tokoh yang dicoba dipopulerkan untuk dapat dijadikan panutan dalam Tri Pama, adalah Adipati Karna. Adipati Karna dibesarkan oleh sepasang suami istri dari masyarakat biasa. Adipati Karna hidup dan dikenal sebagai anak dari Adirata, yang pekerjaannya hanyalah seorang kusir kereta di Kerajaan Astina. Adipati Karna dari kecil, muda hingga dewasa, sebagai Karna, menjalani hidup dengan perasaan penuh ketidakadilan, karena sebagai anak seorang kusir kereta, maka Karna, tidak dapat diterima di kalangan ksatria petinggi istana. Oleh karena itu, walaupun Karna mempunyai kompetensi yang tinggi tidak dapat menembus kalangan elit istana, bahkan berkawan dengan Pandawa pun tak bisa. Dapat dibayangkan betapa sakit hati yang diderita Karna, dengan perlakuan kalangan elit istana. Sampai bertemulah Karna dengan Duryudana, yang merasa bahwa di kelak kemudian hari Karna inilah yang akan mampu membantu Duryudana dalam perang besar melawan Pandawa. Dalam perjalanan kariernya Karna dengan bantuan atau rekomendasi Duryudana tentunya, dari kalangan rakyat biasa dapat menjadi petinggi Istana dan mendapat gelar Adipati.

Banyak hal yang terjadi pada anak manusia di hampir seluruh pelosok bumi yang jalan hidupnya mirip dengan Karna. Dapat meniti karier baik di perusahaan maupun kalangan pemerintahan seperti pola yang dialami Karna. Sesorang dapat mempunyai jabatan tinggi bahkan di Negara kita tercinta ini, karena rekom atau bantuan seseorang. Pada masa tertentu, ketika kompetensi belum menjadi pilihan utama dalam mempromosikan seseorang, perubahan mutasi dan promosi pegawai belum menggunakan merit system, namun masih menggunakan pola rekomendasi atau bantuan seseorang yang sering menjurus kea rah KKN, bahkan dengan dampak yang paling buruk, terjadinya “jual beli” jabatan, maka muncul seseorang ke jajaran yang semakin tinggi, menjadi tidak jelas polanya. Karna mungkin tidak menggunakan cara-cara yang tidak terpuji, namun posisi yang didapatkan Karna adalah karena rekomendasi dan bantuan yang luar biasa besar dari Duryudana, apa pun motifnya.

Sadar, bahwa hanya Duryudanalah yang mau menerima kenyataan terhadap kemampuan yang dimiliki Karna, karena banyak pihak lebih suka mencibir, maka Karna kemudian merasa berhutang budi kepada Duryudana, dan bersumpah akan membantu Duryudana, apa pun resikonya. Dan Karna merupakan salah satu tokoh yang sangat memegang janji, yang telah diucapkan. Janji bagi Karna adalah hutang, sehingga hanya dengan memegang janji itulah, Karna merasa dapat hidup terhormat sebagai Ksatria. Salah satu sifat terpuji yang jarang dimiliki banyak orang di masa kini.

Salah satu sisi Karna, ketika Karna memegang teguh janjinya untuk membela Duryudana adalah, ketika Karna merasa bahwa pada saat Duryudana ditekan untuk menyetujui permintaan Pandawa, menyerahkan kembali kerajaan Indera Prasta milik Pandawa, dan separuh kerajaan Astina, kepada Pandawa dari pada terjadi perang Bharatayuda, maka Karna dengan semangat berapi-api, tanpa peduli siapa yang dihadapi, Karna dengan tegas menyatakan pendapatnya, bahwa dengan kemampuannya Karna dapat melindungi Duryudana.

Adalah suatu hari pada saat terjadi sidang panas, tanpa solusi, perdebatan keras karena perbedaan pandangan antara para petinggi istana kerajaan Astina, karena akan datangnya utusan terakhir Pandawa, Prabu Krisna, yang akan meminta kembali kerajaan Indraprasta dan separuh kerajaan Astina kepada Duryudana.

Ketika Duryudana, meminta saran dari Resi Bhisma, pinisepuh kerajaan Astina, yang sudah bersumpah untuk selalu membela kerajaan Astina dari serangan siapa pun juga, mengenai maksud kedatangan Prabu Krisna tersebut, dengan harapan mendapat dukungan penuh dari Resi Bhisma. Harapan Duryudana akan dukungan Resi Bhisma, jika Astina diserang Pandawa, jika Duryudana tidak mau memenuhi permintaan Pandawa tersebut, merupakan akal bulus Sengkuni.

Logika yang dipergunakan Sengkuni adalah bahwa Resi Bhisma telah bersumpah untuk mempertahankan kerajaan Astina jika diserang oleh siapa pun juga, tentu termasuk jika diserang Pandawa. Walaupun Sengkuni tahu, bahwa Resi Bhisma lebih sayang kepada Pandawa dari pada Kurawa, Duryudana dan adik-adiknya. Namun Resi Bhisma akan tetap memegang teguh janjinya untuk mempertahankan kerajaan Astina. Itulah sumpah Resi Bhisma kepada Dewi Durgandini, Nenek Pandawa-Kurawa, waktu Dewi Durgandini mau dinikahi ayahnya Resi Bhisma, Prabu Sentanu.

Namun apa yang terjadi pada sidang di istana Astina itu, sungguh membuat Duryudana terkejut. Harapannya kepada Resi Bhisma untuk mau membantu keinginan Duryudana kandas. Resi Bhisma memberikan saran kepada Duryudana, untuk saling asah, saling asuh, kepada Pandawa. Menurut Resi Bhisma, adalah suatu hal yang sangat diharapkan masyarakat banyak, terjadinya sillaturahmi nasional antar keluarga bangsa, untuk dapat meredakan ketegangan yang muncul antara ke dua belah pihak. Resi Bhisma juga memberikan saran dan arahan kepada Duryudana, bahwa sebagai pemimpin suatu kerajaan besar di muka bumi, Duryudana harus memegang janji. Duryudana harus menyerahkan kembali seluruh wilayah kerajaan Indra Prasta dan separuh bagian kerajaan Astina, kepada Pandawa. Jika Duryudana mau melakukan hal itu, maka Duryudana telah melakukan tindakan yang terpuji.

Untuk menghilangkan rasa malu terhadap saran dan arahan Resi Bhisma, yang bertolak belakang dari harapan besar yang diinginkan dari Resi Bhisma tersebut, untuk sejenak Duryudana terdiam. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Duryudana kembali berharap kepada Pandita Durna. Menurut Sengkuni, Pandita Durna juga akan membantu Duryudana, kalau terjadi perang dengan Pandawa, karena Duryudana sangat sayang kepada anaknya, yaitu Aswatama. Sementara Aswatama dekat dengan para petinggi Astina. Dari kalangan elit Astina inilah, Aswatama dapat menikamti kemamkmuran dalam hidupnya, karena Aswatama berkawan dengan Duryudana dan adik-adiknya.

Memang Pandita Durna, tidak setuju dengan usul, saran dan arahan yang diberikan Resi Bhisma, untuk memberikan hak Pandawa. Menurut Pandita Durna, Pandawa cukup diberi pulau-pulau kecil yang termasuk pulau-pulau terluar saja. Kalau nanti Pandawa tidak mau terima pemberian itu, Prabu Duryudana jangan takut. Jika terjadi perang dengan Pandawa, Astina akan menang, karena untuk menghadapi Pandawa cukup Pandita Durna yang maju. Pandawa itu walaupun ilmu, kompetensi, serta daya upaya untuk mencapai sesuatu tinggi-tinggi, namun mereka semua adalah murid Pandita Durna. Mana ada di dunia ini, guru kalah sama murid. Mana ada di dunia ini, murid berani sama guru.

Duryudana agak lega mendengar dukungan Pandita Durna kepada Duryudana. Dukungan serius dari Pandita Durna dapat menjadi faktor penentu, yang akan mempengaruhi kemenangan Kurawa atas Pandawa kalau nanti terjadi perang. Kemudian Duryudana meminta saran kepada Sengkuni, mengingat Sengkuni selalu memberikan saran yang masuk akal, dan cespleng, enak dibaca dan perlu. Namun Duryudana mengingatkan Sengkuni, bahwa kali ini, Duryudana berharap Sengkuni memberikan saran yang betul-betul realistik. Beberapa saran Sengkuni, lebih sering gagal dari pada berhasil. Seperti mengajak Pandawa main dadu berhasil. Menghukum Pandawa hidup di hutan tidak boleh ketemu Kurawa selama 12 tahun berhasil. Namun ketika Pandawa diperkirakan tidak akan kuat hidup di hutan selama 12 tahun, karena sudah terbiasa hidup makmur di kerajaan Indra Prasta yang dibangun Pandawa, pasti Pandawa akan mati kelaparan, satu demi satu. Realitas ternyata menunjukkan saran Sengkuni ini gagal. Pandawa tetap masih hidup. Menyamar selama 1 tahun di kehidupan masyarakat, tanpa ketahuan, juga gagal. Ternyata selama 1 tahun hidup menyamar di Negara Wirata, Pandawa tidak berhasil ditemukan. Oleh karena itu, pada sidang kerajaan Astina saat itu, Duryudana berpesan kepada Sengkuni, untuk jangan usul yang neko-neko, dari pada nanti menjadi masalah.

Bukanlah Sengkuni, kalau tidak dapat memberikan masukan yang masuk akal. Logika yang dilontarkan Sengkuni, jika ditelaah secara mudah, sangat masuk akal. Sengkuni berpendapat, Duryudana tidak perlu memenuhi permintaan Pandawa. Kalau nanti Pandawa mengajak perang dengan Kurawa. Kurawalah, Duryudana dan adik-adiknya yang akan menang. Pandawa hanya berjumlah 5 orang, sementara Kurawa, Duryudana dan adik-adiknya berjumlah seratus orang. Mana ada di dunia ini, 5 orang berperang dengan 100 orang, bisa menang. Pokoknya, menurut Sengkuni, Duryudana jangan takut. Kalau Prabu Kresna datang, bilang saja, kalau Duryudana tidak mau memberikan permintaan Pandawa. Kalau Pandawa mau mengajak perang. Biar saja.

Kontan Resi Bhisma bersuara keras kepada Sengkuni. Menurut Resi Bhisma kalau jumlah yang digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan dalam pertempuran besar dengan Pandawa, Sengkuni salah besar. Belum pernah selama ini, Kurawa menang melawan Pandawa. Sengkuni berpendapat bahwa itu masa lalu, itu kejadian-kejadian dulu, sewaktu masih anak-anak dan muda-muda. Sekarang Kurawa sudah banyak berlatih, Kurawa sudah makin perkasa. Kurawa sudah memiliki kompetensi tinggi. Jadi kalau Kurawa perang dengan Pandawa, hasilnya akan lain.

Situasi menjadi panas, karena perbedaan pendapat yang semakin meruncing antara Resi Bhisma dengan Sengkuni.

Namun untuk menambah keyakinan Duryudana, kalau Astina tidak sendirian menghadapi Pandawa, karena bagaimana pun juga dalam perang besar, perlu ada dukungan sebesar mungkin dari berbagai pihak, untuk memberikan keyakinan bahwa keputusan yang diambil merupakan suara dunia. Duryudana lalu memohon saran dan arahan Prabu Salya, raja Magada, mertua Duryudana, dan juga sekaligus mertua Adipati Karna.

Malang nasib Duryudana, bukan mendapat dukungan penuh dari Prabu Salya, jika terjadi perang bharatayuda, jika Duryudana tidak mau memenuhi permintaan Pandawa sesuai dengan surat perjanjian yang sudah ditanda-tangani ke dua belah pihak, Pandawa dan Kurawa, namun Prabu Salya justru memberikan saran yang dalam logika normal, sulit masuk diakal. Prabu Salya menyatakan bahwa baik Pandawa maupun Kurawa adalah anak-anaknya. Dua saudara Pandawa, baik yang paling buncit maupun kakaknya adalah anak Dewi Madrim, yang nota bene adalah adiknya sendiri. Ada pun Duryudana sendiri adalah menantunya, beserta Prabu Baladewa raja kerajaan Madura, yang sebetulnya adalah kakak Prabu Krisna dan tentu Adipati Karna, yang juga menantu Prabu Salya.

Prabu Salya, sangat menyayangkan jika terjadi perang bharatayudha antara Pandawa dan Kurawa. Prabu Salya memberikan usul kepada Duryudana untuk memenuhi permintaan Pandawa. Menurut Prabu Salya, jangankan separuh kerajaan Astina, kalau perlu seluruh kerajaan Astina, diserahkan saja kepada Pandawa. Duryudana boleh bertahta di kerajaan Magada, Prabu Salya akan memberikan seluruh kerajaan Magada kepada Duryudana, jika memang hal itu, dapat memberikan suasana damai, bagi Pandawa dan Kurawa.

Namun tanpa diberi kesempatan terlebih dahulu, dengan tiba-tiba Adipati Karna merangsek maju ke depan persidangan, dan langsung berbicara kepada Pimpinan Negeri, Raja Kerajaan Astina, Prabu Duryudana. Adipati Karna merasa tidak dihargai, dari tadi Adipati Karna tidak pernah diajak berunding. Padahal masalah yang dibahas berkaitan dengan masalah perang dengan Negara lain, sementara sebagai Panglima perang kerajaan Astina, Adipati Karna, malah tidak dilibatkan sama sekali. Padahal jasa Adipati Karna sangat besar untuk kerajaan Astina. Banyak kerajaan yang takluk kepada Astina setelah diperangi Adipati Karna. Hal tersebut tentu saja menjadikan pundi-pundi kerajaan Astina meningkat, karena mendapat masukan peningkatan pajak dari Negara jajahan.

Adipati Karna juga menganggap saran yang diberikan Prabu Salya, sangat tidak masuk akal. Mana ada hari gini ada orang yang mau memberikan kerajaannya kepada orang lain. Adipati Karna curiga, jangan-jangan kerajaan Astina kemasukan telik sandi. Ada musuh dalam selimut di kerajaan Astina. Katanya saja mau membela Duryudana, tetapi maksud sebetulnya adalah membantu Pandawa. Usulan memberikan kerajaannya kepada Kurawa untuk pindah-migrasi-hijrah-longmarch, sangat tidak masuk akal, dan mengandung maksud-maksud tersembunyi. Ada agenda tersembunyi dari usulan itu, Duryudana harus hati-hati.

Suasana persidangan mendadak senyap mendengar suara lantang Adipati Karna itu. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena Prabu Salya dengan suara yang mendidih, segera menumpahkan seluruh uneg-unegnya yang ditahan-tahan ketika Adipati Karna berbicara kepada Duryudana tadi. Mendengar Prabu Salya marah besar, dengan penuh emosi, seakan-akan wajah Prabu Salya ingin melahap Adipati Karna, Duryudana berkata lirih, Ayahanda Prabu Salya, harap bersabar.

Namun kemarahan Prabu Salya terhadap Adipati Karna sepertinya sudah memuncak. Prabu Salya tanpa basa basi mengajak Adipati Karna berperang. Ada tiga orang raja yang menjadi menantuku, tutur Prabu Salya, dalam persidangan itu, Prabu Baladewa, Raja sakti mandraguna, belum ada yang sanggup mengalahkan Prabu Baladewa di muka bumi, yang juga kakak Prabu Krisna, itu segan sama saya, Prabu Salya. Menantu ke dua, Prabu Duryudana, raja yang sangat kaya di muka bumi, raja kerajaan Astina, juga segan kepada Prabu Salya. Lha, kok kamu, Adipati Karna, yang bukan raja, hanya seorang adipati, bukannya segan kepada mertuamu Prabu Salya, malah nekat bicara dalam persidangan besar kerajaan Astina, sudahlah tidak dimintai saran, malah bersuara yang bukan-bukan dan menyinggung pernya Prabu Salya. Kalau memang sakti mandraguna, kamu, Karna, tidak perlu perang antara Pandawa dengan Kurawa. Ayo perangnya ganti antara Prabu Salya dengan Karna saja. Kalau kena tangan Prabu Salya, kepalamu tidak pecah. Jangan panggil Prabu Salya lagi. Suasana sidang di kerajaan Astina berubah menjadi panas tidak terkendali tanpa solusi.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara bersahut-sahutan dari arah alun-alun kerajaan Astina, suara itu makin lama makin keras dan besar, yang akhirnya sampai terdengar di ruang sidang kerajaan Astina. Prabu Krisna datang. Prabu Krisna datang. Prabu Krisna datang. Mendadak sontak suasana sidang di kerajaan Astina riu rendah, mendengar kalau Prabu Krisna utusan terakhir Pandawa sudah datang. Adipati Karna memanfaatkan keriuhan itu, sambil diam-diam beringsut ke luar, seolah-oleh ingin menyambut kedatangan Prabu Krisna, padahal sebetulnya Adipati Karna ingin menghindar dari amukan Prabu Salya.

Keberanian Adipati Karna menyeruak dalam persidangan para petinggi dengan suara lantang, mirip dengan pola petinggi yang sedang hangat dibicarakan di negeri ini. Keteguhan Adipati Karna memegang janji, untuk membela orang yang pernah membantunya, sudah sangat sulit dicari bandingannya di negeri ini. Kesuksesan Adipati Karna meniti kehidupan dari bawah sampai mencapai tingkatan tertingi di suatu negeri, juga bukan hal banyak dijumpai di negeri ini. Namun mengapa tokoh Karna yang teguh memegang  janji itu, tidak popular ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun