Mohon tunggu...
MJK Riau
MJK Riau Mohon Tunggu... Administrasi - Pangsiunan

Lahir di Jogja, Merantau di Riau

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Berkunjung ke Rumah Atuk

14 Oktober 2015   09:10 Diperbarui: 14 Oktober 2015   11:54 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Nanti kita berkunjung ke rumah Atuk, ya mas ?", serunya, seperti ingin mendapat suatu kepastian, persetujuan. Suatu permintaan yang sulit ditolak dari ibunya Si Canti Bungsu.

"OK".  Jawabku singkat.

Atuk merupakan mantan tetangga sewaktu pertama-tama aku merantau di Sumatra. Sekali merantau dari Jogja ke Riau dan sampai saat ini tidak kembali. Dari kecil dibesarkan di Jogja. Pernah sekali merantau ke Jakarta selepas sma. Kuliah di AIS dan dapat beasiswa tapi persaingannya sangat ketat dan kuat, tidak naik kelas dan pulang kembali ke Jogja. Dana beasiswa yang terkumpul, dipakai untuk modal kuliah di Kampus Biru. Merantau ke Sumatra merupakan impian dengan istri sewaktu masih pacaran. Keputusan bulat yang harus diambil karena calon istri waktu itu mendapatkan beasiswa yang harus siap melaksanakan tugas di seluruh pelosok wilayah negeri ini. Alhamdulillah mendapat info istri, akan ditempatkan di Pekanbaru, Riau. Malu dianggap ikut istri, berangkat lebih dulu ke Sumatra, sekali pergi jauh, ke luar Jawa, rupanya rejeki bersama istri, tak juga henti.

Adalah nenek, istri Atuk, tetangga sewaktu pertama kali menjalani hidup di perantauan di Pekanbaru, Riau. Sengaja membahasakan Atuk, panggilan untuk kakek yang biasa diucapkan Si Sulung Gantheng dan Si Cantik Bungsu, di tanah rantau. Atuk kerja di kantor Kodim, kalau siang hari pulang mengajar, nenek istri Atuk, sering memberi makan siang. Alhamdulillah, keluarga orang awak ini, begitu baik, sama orang jawa. Hubungan kami pun terus terjalin, setelah kami sekeluarga berkumpul di Sumatra. Beberapa kali secara periodik, kami biasakan berkunjung ke rumah Atuk, bahkan pada hari raya Fitri atau hari libur-libur lain. Keluarga Atuk sudah kami anggap sebagai keluarga orang tua kami sendiri.

Namun karena suatu hal, kami memilih membeli rumah yang walaupun masih di lingkungan perumnas, tapi tidak begitu dekat dengan rumah Atuk. Kebetulan tidak lama juga Atuk ternyata membangun rumah pula yang lebih besar di luar lingkungan perumnas. Walaupun begitu kami tetap mengusahakan berkunjung ke rumah Atuk. Memang dengan intensitas yang mulai berkurang tentunya. Apalagi tiga tahun ini, kuputuskan untuk berkarier di Kabupaten, sehingga lebih jarang kesempatan untuk berkunjung ke rumah Atuk. Namun kalau mendengar info kalau Atuk opname, kami berusaha menyambangi Atuk. Kebetulan pula orang besar di pemda tempat tugasku, merupakan kenalan Atuk, bahkan istrinya masih sekampung dengan Atuk.

Hari itu, sebelum acara mendoa untuk berangkat haji, rencana akan berkunjung ke rumah Atuk, sekalian mengundang beliau serta mohon doa restu. Namun karena suatu hal, kuputuskan besok saja berkunjungnya ke rumah Atuk. Rupanya itu suatu keputusan yang salah. Pagi setelah subuh, mendapat telepon kalau Atuk telah dipanggil ke rahmatullah. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Semua yang ada di dunia ini, sesungguhnya milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Segera kami berangkat ke rumah Atuk. Pada beberapa keluarga dekat Atuk, kami dikenalkan sebagai keluarga dekat Atuk, bahkan ada yang diminta untuk mencatat no hpku. Atuk, orang awak yang sudah kami anggap sebagai orang tua sendiri telah meninggalkan nenek dan putri sulungnya serta putra bungsunya yang telah berkeluarga dengan dua orang anak dan tinggal di wilayah itu juga, walaupun masih agak jauh.

Jawaban singkatku untuk memastikan kesediaan, ketika diajak berkunjung ke rumah Atuk, merupakan suatu hal yang harus kulakukan. Sungguh aku tidak ingin terlambat lagi, karena suatu hal.

Lampu mati saat kami sampai di rumah Atuk. Nenek dan tantenya Si Cantik Bungsu tentu sedang sibuk mengatur pencahayaan rumah sewaktu kami datang. Nenek terlihat sangat bahagia ketika mengetahui kami tidak kurang suatu apa pada saat menjalankan ibadah haji kemarin.

"Eh, mBak, Ibu gelisah ketika melihat gambar-gambar di TV", seru Nenek. Alhamdulillah, kami lega ketika kami tahu mBak baik-baik saja.

"Jadi bagaimana sebetulnya musibah crane itu ?", tanya Nenek.

"Kalau musibah di Mina, mbak bagaimana?" bertubi-tubi Nenek ingin mengetahui secara langsung dari kami mengenai kejadian pada musibah pada musim haji tahun ini.

"Jujur, Bu. Kami tidak tahu apa yang terjadi ?", jawab istriku.

Sewaktu musibah di masjidil haram, kami sedang di hotel. Namun entah info dari mana awalnya, tiba-tiba berembus berita mengenai adanya musibah yang menimbulkan korban jiwa para jemaah di Masjidil Haram. Begitu mengetahui masih ada kawan sekamar yang belum pulang. Kami langsung kontak. Tidak diangkat. SMS, seruku. Pulsa arabku sudah menipis. Beli di luar agen, tidak dapat ditambah, walaupun sudah beli kartu untuk tambahan pulsa. Kontak ke kamar istri.

"Punya nomor hp Bu X", tanyaku pada istriku di kamar sebelah.

"Si A putra BU X, belum pulang dari Masjidil Haram. Ada berita musibah besar", lanjutku.

Tiba-tiba teleponku berdering. Segera kuangkat!

"Eyang, bagaimana kabar Bapak eyang. Tolong kirimkan noh hp arab Bapak, eyang!", tangisnya sangat keras, cucu keponakan tidak dapat menahan rasa takutnya ketika ketika tidak dapat mengontak ke dua orang tuanya yang berangkat ke tanah suci.

Suasana sangat panik di ruangan kamar hotel itu.

"Kontak mas Y", seruku pada Si Sulung Gantheng.

"Tidak bisa masuk", jawab Si Sulung Gantheng.

"SMS!", lanjutku.

"Kirim no hp arab mas Y ke anaknya!", harap harap cemas dengan keadaaan yang terjadi.

HP bergetar, ada sms masuk.

"Bagaimana keadaan masjoko sekarang ? Ada berita musibah di masjidil haram."

"Alhamdulillah, kami baik-baik saja di hotel", jawabku, rupanya masih ada pulsa untuk sms. HP bergetar lagi dan bergetar lagi.

"Sudah ada sms dari Mas Y", seru Si Sulung Gantheng. Alhamdulillah. Soalnya, SMS terakhir dari anak Mas Y, no hp mas Y belum dapat dihubungi.   

"A juga sudah sms", seru Si Sulung Gantheng. Alhamdulillah lega rasanya. Akhirnya kami putuskan untuk tidur di kamar. Walaupun sebentar-sebentar telepon berdering, gantian di antara penghuni kamar, namun kami maklum. Itu pasti kontak dari tanah air. Paginya, mataku berkaca-kaca, masih ada sms yang masuk, menanyakan kabar kami. Sungguh perhatian yang sangat dibutuhkan dari kalangan dekat, ketika ada berita musibah besar terjadi, mereka mengkawatirkan nasib kami.

Kring, begitu juga ketika terjadi musibah di Mina. 

"Eyang baik-baik saja. Bagaimana dengan Bapak, eyang ? Hpnya belum bisa dihubungi ?", tanya cucu keponakan dengan nada cemas.

"Kontak saja lagi, mBak. Insya Allah nanti kan masuk. Sabar, ya", seruku.

Jadi benar terjadi targedi itu! Sempat menganggap isu saja, karena info yang muncul siang itu, kok bertentangan dengan info pagi harinya. Ah, ada berita apa lagi dari tanah air, nih. Rupanya ada tragedi di Mina. Lho kok bisa ?

Belum hilang rasa capek, setelah sampai di Mina, sehabis mabit, menginap sampai tengah malam dan mencari batu hampir tiga ratusan biji di Muzdhalifah, setelah seharian wukuf di Arafah. Awalnya, hanya ingin mengumpulkan tujuh kali empat batu saja, untuk melempar jumrah Aqobah. Pengalaman pertama dulu sewaktu berangkat haji, batu-batu sangat banyak di Jumarh Aqobah, kalau waktunya tepat, sudahlah dapat melempar sangat dekat dan dapat mengambil batu lagi untuk melempar pada hari yang lain, karena sepuluh tahun lalu, kami melempar jumrah di lantai pertama. Untung pikiran itu, segera kuhilangkan. Ikuti saja petunjuk. Rupanya itu keputusan yang sangat benar dan tepat. Kalau saja pikiran awal yang kupilih, tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi setelah itu.  

Pagi-pagi sehabis sholat subuh, sudah ada kawan yang pulang melontar jumrah Aqobah. Ritual itu merupakan bagian terakhir bagi jemaah haji yang masih harus menggunakan pakaian ihram. Setelah melempar jumrah Aqobah dan melakukan tahalul, maka jemaah haji sudah boleh melepaskan pakain ihram dan menggantikannya dengan pakaian biasa sehari-hari. Hampir semua larangan ihram, kecuali berhubungan antara suami istri sudah tidak berlaku.

"Maaf, karena bapak-ibu tadi tidur nyenyak sekali, sementara kami tidak dapat tidur, maka kami lebih dulu berangkat melempar jumrah Aqobah", begitu info yang kami terima.

Info lain yang berkembang, adalah kami dianjurkan untuk berangkat melontar jumrah Aqobah sehabis Dhuhur. Karena alasan tidak tahan panas terik matahari, kalau berangkat sehabis Dhuhur, istriku mengajak berangkat pagi itu juga. Namun info yang berkembang dari yang baru saja pulang dari melempar jumrah, sebaiknya mengikuti arahan dan petunjuk dari Kloter. Kalau berangkat sekarang, kemungkinan besar akan sangat padat, dan banyak jemaah haji Indonesia akan berangkat sehabis Dhuhur, pastinya. Akhirnya, kami sepakat untuk berangkat melontar jumrah Aqobah, sehabis Ashar, karena kalau pagi ini sangat ramai, sementara sehabis Dhuhur, sangat panas.

Namun tidak lama kemudian yang sudah jadi berangkat pagi itu, tanpa kesepakatan, pulang dengan berita baik. Alhamdulillah, kami lancar dan aman, terowongannya besar, di bagian tengahnya bahkan ada escalator bagi yang capai berjalan. Ha ? Pikirku, sudah berubahkah terowongan ke Jamarat ? Rasanya dulu memang ada dua terowongan, tapi yang hanya untuk berjalan kaki, tidak ada escalatornya.

Akhirnya kesepakatan berubah, banyak kawan yang akan berangkat siang itu juga. Kubangunkan keluargaku, kuajak berunding, kalau ingin berangkat bersama rombongan, kita berangkat sekarang, namun kalau tidak tahan panas, kita berangkat sehabis Ashar juga nggak apa-apa. setelah berunding, akhirnya kami putuskan berangkat sebelum Ashar. Dan mulailah info itu berkembang. Orang yang sama, memberikan info yang berbeda dengan yang dismpaikan setelah pulang dari melempar jumrah Aqobah pagi tadi. tadi pagi dan siang itu, orang lancar-lancar saja berangkat melontar jumroh Aqobah, kok sekarang ada berita musibah, banyak sekali jemaah haji yang menjadi korban pula. Info apa dari tanah air, ini! Sampai telepon berdering dari Cucu keponakan yang menanyakan kabar Bapaknya dan menceritakan berita di tv tentang musibah di Mina itu. Lho Kok Bisa ?

Memang ada yang pulang ke tenda baik-baik saja, bahkan banyak, yang lalu potong gundul dan mandi lalu ganti pakain ihramnya dengan pakaian biasa. Info itulah yang membuat sebagian besar rombongan kami berangkat melontar ke Jemarat. Tapi memang ada sebagian, bahkan jemaah di sebelah kami dari rombongan lain, yang belum kembali. Ada apa dengan mereka ? Di mana mereka ? Karena lain rombongan, info tidak segera didapatkan, dan info musibah itu yang akhirnya memenuhi perkemahan. Namun karena ingin mempersiapkan melontar jumrah Aqobah, akhirnya kami tidur lagi.  Keputusan itu dengan resiko, bahwa dalam satu tenda itu, hanya kami berempat yang belum berangkat melontar jumrah Aqobah, so hanya kami berempat sajalah, yang masih memakai baju ihram, dus tentu belum mandi pula, sudah hampir tiga hari tuh. Lupa kalau harus mempersiapkan kain basahan, jika ingin mandi pada saat masih menggunakan pakaian ihram. Berita mengenai musibah itu tidak menjadi perhatian kami sepenuhnya, karena toh ada pula yang kebetulan banyak yang pulang ke tenda perkemahan dengan selamat.

Alhamdulilah, kami selamat sampai di perkemahan, walaupun kami memerlukan waktu lebih dari tiga jam, sementara kawan lain ada yang kurang dari dua jam. Memang di perjalanan, kami melihat ada dua heli yang mondar mandir, namun kami tidak tahu sama sekali, sedang ngapain tuh heli. Apalagi menghubungkan dengan berita mengenai musibah yang memakan banyak korban. Tidak ada perintah menutup pintu perkemahan, seperti adanya musibah sepuluh tahun yang lalu di Mina. Begitu ada musibah di terowongan Mina, pintu perkemahan langsung ditutup. Jemaah haji tidak diperkenankan ke luar, sampai waktu yang ditentukan. Tapi pada pelaksanaan haji tahun ini, lancar-lancar saja. Perjalanan kami ke Jemarat aman. Bedanya, kami sekarang diarahkan ke lantai tiga Jamarat, sedang sepuluh tahun lalu, kami bebas memilih yang mana, boleh di lantai pertama, lantai ke dua dan lantai ke tiga. Itu pun setelah sampai dekat dengan Jamarat. Tidak dengan tahun ini, jalan yang kami tempuh sudah diarahkan ke lantai tiga Jamarat, bahkan sebelum masuk ke dalam terowongan. Terowongannya pun lebih lebar, panjang dan dilengkapi dengan escalator kalau kami capai berjalan kaki. Memang jaraknya lebih jauh, dari pada arah ke lantai pertama sepuluh tahun yang lalu. Tapi kami juga tidak tahu lagi, mana jalan yang kami lewati pada Jemarat lantai pertama, yang sangat banyak dan

Sampai pada saat kami akan berangkat. Rombongan kami sudah pulang sebelum dhuhur dan berita musibah itu semakin keras. Ada juga kawan satu regu, yang berangkat sendiri, pagi pada saat kami larang untuk berangkat, ada yang mengikuti rombongan ada yang nekat pergi sendiri. Ternyata yang nekat pergi sendiri dari jam 7 pagi tadi, hari sudah hampir jam 3 sore belum juga pulang. Alhamdulillah sudah ada kontak. Info pertama, dia tersesat di perkemahan lain, tidak tahu jalan pulang ke perkemahan semula. Sebelum kami berangkat ke Jemarat, kami tanyakan kepada jemaah yang sudah pulang dari Jemarat, ke mana arah yang harus ditempuh. Bismillah.

Begitu mudah kalau ingin mengambil batu di sana. Beda dengan posisi melempar di Jamarat lantai tiga, batu langsung jatuh ke lantai pertama. Bagaimana mau mengambil batu lagi, kalau saja kemarin di muzdhalifah hanya mengambil tujuh kali empat batu, pada pikiran awal, tidak mengikuti petunjuk dan arahan. Sudahlah sulit mencari batu lagi, hampir tiga ratusan untuk kami berempat, tidak tahu jalan menuju jamarat lantai pertama. Ada musibah pula di sana. Teman sebelah dari rombongan lain yang berangkat dari jam 7 pagi tadi ada juga yang belum pulang. Malamnya ada nenek yang pulang tidak dengan suaminya. Paginya Suaminya pulang dengan diantar polisi. Info yang kami dapat, mereka berpisah, ketika si kakek hendak minum air segar yang tersedia di pinggir jalan, si nenek menunggu tidak disampingnya. Banyak arus jemaah datang, dan si kakek tidak melihatnya istrinya, si nenek tidak meihat suaminya. Namun Alhamdulillah mereka akhirnya sampai ke perkemahan.

Kami lihat nenek tersenyum bahagia, melihat kami baik-baik saja, bahkan sudah berkunjung ke rumahnya. Nenek bilang, malam ini janjian dengan anaknya, ingin berkunjung ke rumah kami. Sungguh indah pertemuan malam itu, nenek hanya tinggal berdua dengan putrinya, setelah tidak ada Atuk lagi. Kurasakan kebahagiaan nenek di wajahnya, walaupun lampu mati, hanya diterangi lampu emergency.  Begitulah, kami telah berkunjung ke rumah Atuk malam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun