Baca artikel mBak Ira, kalau Bu Risma Walikota Surabaya itu akan mundur. Bu Risma menjadi Walikota Surabaya karena didukung oleh PDIP. Namun pernah terjadi upaya memakzulkan Bu Risma dari jabatannya sebagai Walikota Surabaya dari fraksi-fraksi partai di DPRD Kota Surabaya, termasuk yang setuju dengan usaha pemakzulan itu adalah PDIP.
Bagaimana pola pikir, kawan-kawan yang duduk sebagai anggota yang terhormat ini, ya ? Wong, Jabatan Walikota kok mau dimakzulkan. Kelihatan sekali kurang sabar dalam menghadapi kenyataan, bahwa terdapat mekanisme kepemimpinan lima tahunan, baik di tingkat Pusat, Provinsi maupun Kabupaten dan Kota. Kalau tidak setuju dengan kebijakan yang akan dilaksanakan oleh Bu Risma sebagai Walikota, boleh dikritisi, boleh membuat saran dan memberikan warna pada kebijakan yang dianggap ke luar dari jalur. Bukan berusaha pemakzulan. Indikator yang digunakan apa ?
Dahulu sebelum, pemerintah daerah baik di provinsi, maupun kabupaten dan kota, belum menyusun APBD dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, berdasarkan anggaran berbasis kinerja, maka dapat saja, pimpinan daerah tersebut dimintai pertanggung-jawaban berdasarkan LPJ. LPJ dapat menjadi sarana pemaksulan. Bukan saja pimpinan daerah, bahkan pak Habibie saja, mengalami LPJnya ditolak MPR. Namun Menteri Dalam Negeri bergerak cepat, mengantisipasi keeroran logika itu, dengan mekanisme merubah pola manajemen penyusunan kebijakan dan anggaran dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan dengan pola penyusunan anggaran belanja berbasis kinerja.
Dalam penyusunan Kebijakan Umum Anggaran dan yang akan menjadi bahan baku utama APBD, maka setiap pemerintah daerah mendistribusikan kewenangannya pada setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) dengan penyusunan kegiatan yang berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja, menuntut Pemerintah Daerah dalam hal ini SKPD merencanakan kegiatan berdasarkan input, output, bahkan sampai impact yang terukur, sehingga dapat diketahui akuntabilitasnya. Pada setiap akhir tahun, Pemerintah Daerah harus menyusun LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerintahan). Lakip beserta Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) bukan LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban) dapat dikritisi oleh kalangan dewan. Namun tidak ada mekanisme menolak LAKIP atau pun LKPj. Beda dengah LPJ yang boleh ditolak. Bisa dibayangkan kalau setiap LPJ yang harus disusun tiap tahun dapat menghantui pimpinan daerah dengan pemakzulan ? LAKIP dan LKPj disusun untuk suatu Laporan pimpinan daerah yang boleh dikritisi untuk perbaikan pada tahun berikutnya, karena LAKIP merupakan akumulasi pelaksanaan kebijakan pemerintah daerah yang secara substansial merupakan suatu bentuk hasil unjuk kerja yang sudah terukur dan mempunyai akuntabilitas. Hal tersebut jauh dari pada keputusan untuk ditolak, wong sudah terukur dan akuntabel, walaupun hal itu, masih bisa dikatakan debatebel.
Hal yang sangat aneh, juga terjadi adanya berita akan mundurnya Bu Risma, karena Wawali yang terpilih oleh DPRD Surabaya adalah tokoh yang sangat tidak erat hubungannya dengan Bu Risma. Artikel mBak Ira, bahkan menunjukkan bawa Wawali terpilih adalah orang PDIP tulen. Berasal dari keluarga PDIP beken. Tidak demikian dengan Bu Risma, yang nota bene berasal dari birokrat karier. Pandangan kalangan birokrat adalah kalau tidak dapat bekerjasama dengan atasan boleh minta pindah, atau mundur. Masalahnya Bu Risma akan berhadapan dengan Wawali, bukan atasannya, tetapi justru bawahannya. Akan sangat janggal dan menjadi misteri besar kalau ada atasan yang mundur karena tidak cocok dengan calon bawahannya. Baca calon bahkan belum  menjadi bawahannya.
Adalagi analisa bahwa karena Bu Risma lebih berani berkata tidak terhadap PDIP, beda dengan Jokowi. JokoWi lebih suka menunjukkan sikap hormat dengan Bu Mega, sebagai King eh Quen Maker di PDIP. Wajar kalau kemudian PDIP merasa sulit mengendalikan Bu Risma. Pengalaman serupa pernah terjadi di tempat lain, yang pada akhirnya sangat kreatif sampai berhasil menjadi pimpinan pusat. Padahal dulu dapat maju sebagai pimpinan daerah yang lebih tinggi karena dukungan gratis dari PDIP. Apa hiya, PDIP mau mengulangi lagi pengalaman pahit itu. Berbagai sudut pandang dapat dimunculkan bahwa Bu Risma mundur itu perlu!
Nah dari berita lain, yang terjadi justru ada usaha  untuk meningkatkan peran Bu Risma menjadi tokoh nasional. Kinerja Bu Risma dianggap sudah melampui standar untuk seorang pimpinan daerah. Bu Risma perlu mendapat lapangan yang lebih luas. Tidak tanggung-tanggung kalau sekarang baru dianggap berhasil memimpin Kota Surabaya, belumlah dicoba memimpin daerah yang lebih besar, Provinsi Jatim misalnya, sudah dianggap layak untuk mendapatkan tugas besar dan kompleks untuk memimpin negara. Berita mundurnya Bu Risma menjadi semakin misterius saja.
Apakah PDIP serius mengangkat issue ini secara fair ? Berita itu sungguh tidak dinyana-nyana:
http://www.tempo.co/read/news/2014/02/03/269550477/Jokowi-dan-Risma-Diadu-oleh-PDIP
Bukan saja mengenai kebenarannya, tetapi juga, begitu seriuskah PDIP dengan usulannya itu! Strategi menyebar kekuatan ala konvensi tersembunyi ? Dengan mengorbankan pembangunan Surabaya ? Memang Wawali bukan orang luar biasa ? Memang hanya Risma yang mampu memimpin Surabaya. Risma perlu mendapat tempat yang terhormat, Calon Presiden. Risma dapat menjadi sparing partner yang seimbang dengan JokoWi. Kalau nanti Risma gagal, yo wis ben. Kan Risma memang bukan asli PDIP. Risma juga bukan pemimpin yang bisa diatur. Risma suka berjuang sendiri. Waktu tidak berpihak pada rakyat, walaupun rakyat diminta berpartisipasi aktif di Pemilu. Â Pemilu memang tidak lama lagi. Pemilu serentak sudah kehilangan momentumnya. Pemilu Legislatif akan menunjukkan kekuatan dan kelemahan Parpol.
Tetapi untuk JokoWi, Risma diadu: Memang lomba pacuan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H