Mohon tunggu...
Stefanus Joko
Stefanus Joko Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - manusia kecil yang tiadapun dunia tetap baik-baik saja.

Kawulo alit pencela bangsa sendiri tanpa memberi solusi. Pengagum Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Resensi Novel Bahasa Jawa "Panjang Ilang", Bak Kitab Warisan Leluhur di Tengah Peradaban Modern

2 April 2019   01:42 Diperbarui: 7 Oktober 2020   21:37 6743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel bahasa Jawa Panjang Ilang yang ditulis oleh Naratala ini di awal-awal begitu penuh dengan pengandaian. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan secara detail suatu benda dan kegiatan pun terasa sangat melelahkan. Sebagai contoh ketika ingin menerangkan sosok Taruni, seorang wanita dari Gunungkidul, begitu terasa melayang-layang. 

Belum lagi ketika menemukan sesuatu untuk menjelaskan kehidupan Taruni. Singkong, thiwul, gatot, gembili, palawija, dedaunan dan lainnya terasa membingungkan. Sulit sekali dipahami dengan cepat agar tertuntun memasuki pada cerita awal. 

Naratala menjelaskan dari berbagai perspektif yang bagi orang awam seperti saya akan kelabakan mengikuti jejak langkah cerita dalam novel ini. 

Di awal judul "Ajang" perpektif filosofi, eksakta, mitos dan berbagai sudut pandang melompat kesana kemari, melelahkan. Terasa sulit bagi orang-orang seperti saya untuk dengan mudah memahami ajaran-ajaran yang tersirat pada gamelan, kerawitan, slendro, takir, apem conthong, rasul, sedekahan, labuhan dan lain-lain.

"Wong wadu kang daktunggu praptane ing kene: Taruni. Alusan lageyane, luruh praenane, ning tarkadhang, mbranyak! Lanyap! Anggane rada njonggrang. Nadyan sithik, sipat-sipat raseksine kadhingkala ana. Padhet lan mentes. Mentese kacang brol Gunungkidulan. Weton pategalan-pakarangan gunung karang. Arang kabanyon, kebacem banyu piangkahku, ning tetep uwohing ati pepethingan. Kepara yen dakupamakake panganan ngono rada cemethut, dudu kiyal agal, rada cenul-cenul koyo gathot cinokot sing biyen cok digawe simbok" (1;1)

Tapi sebenarnya, Panjang Ilang ini mulai bisa dipahami begitu memasuki halaman 11 dan seterusnya. Dari sini mulai terurai. Lalu kemudian dapat dipahami bahwa cerita ini ingin mempertegas kekaguman penulis pada sosok Taruni dengan berbagai hal yang berada di lingkungan hidupnya, yang berada di dalam maupun di luar diri seorang Taruni. 

 Yang ada bersentuhan, ada di dekat maupun ada berjarak dengan sosok Taruni. Dijelaskan begitu detail sedetail-detailnya. Ini hanya bisa dipahami oleh orang yang mau memaklumi apa yang disebut "Jatuh Hati" pada lawan jenis. 

Bahkan, mungkin titik debu yang menempel di tubuh seorang bernama Tarunipun bisa ditulis melalui penggembaraan kata, kalimat dan bahasa yang begitu jauh, dalam dan sulit tergapai. Hal demikian harus dihadapi pembaca disetiap judul cerita Panjang Ilang ini. 

Novel berbahasa Jawa Panjang Ilang ini memuat judul-judul pendek yang kedalaman maknanya tak sependek judul yang tertulis. Begitu sangat dalam melalui berbagai latar belakang cerita. Sebut saja judul Ajang, Pring, Pala, Janur, Pajangan, Uncet dan Ilang. 

Semua judul selalu diawali dengan penjelasan-penjelasan berbelit yang tidak semua orang akan dengan mudah memahami. Belum lagi konflik cerita yang sangat kontradiktif antara seorang pekerja IT yang sangat menguasai rumitnya coding versus sosok Taruni yang mengabdikan dirinya sebagai seorang Penari tradisional yang sangat kental dengan pakem yang meletihkan untuk dipahami awam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun