Mohon tunggu...
Chrisma Juita Nainggolan
Chrisma Juita Nainggolan Mohon Tunggu... Guru - Emak berliterasi

Lahir di Simalungun 24-12-1968 S1 Jurusan Administrasi Perkantoran IKIP Negeri Medan 1991

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Childfree, Tren atau Latah?

4 September 2021   01:06 Diperbarui: 4 September 2021   01:12 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merujuk pada 3 negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia, yakni Korea Selatan, Singapura, dan Jerman, para pakar memprediksi, suatu saat negara-negara tersebut akan punah. Korea Selatan, memiliki standar untuk usia menikah bagi perempuan, yaitu 30-35 tahun. Disatu sisi, kebijakan ini membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, karena semakin banyaknya perempuan berkarir tanpa terbeban urusan rumah tangga. Namun disisi lain, pemerintah kewalahan untuk mencari tenaga kerja lokal, hingga akhirnya mendatangkan tenaga kerja asing. Data terakhir jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Korea Selatan 40.000 jiwa. Untuk menaikkan tingkat kelahiran, maka pemerintah Korea Selatan memberikan subsidi bulanan bagi warganya yang mau memiliki anak, sungguh dilematis.

Negara Jerman sebagai peringkat ketiga dengan angka kelahiran terendah, mengingatkan saya pada masa kecil. Ketika itu ayah dan emak memiliki warung kopi (inilah penyebab maka saya menyukai kopi). Silih berganti pengunjung yang datang ke warung, terutama para lelaki dewasa. Suatu hari, saya mendengar istilah “Lajang Jerman”. Saking lugunya saya pikir benar-benar orang Jerman, karena warung kami berada di jalan lintas Pematang Siantar-Parapat, daerah yang sering dilewati turis mancanegara. Ternyata, yang dimaksud dengan istilah “Lajang Jerman” adalah lelaki dewasa, lebih tepatnya lelaki yang belum menikah meski usia sudah diatas 30 tahun. Barangkali, istilah tersebut disematkan karena tradisi di Jerman menikah pada usia yang cukup matang.

Terlahir di keluarga besar dengan formasi kesebelasan plus 4 cadangan (15 bersaudara), membuat saya terperangah dengan merebaknya isu Childfree. Apakah ini sekadar tren atau latah semata?. Semoga masyarakat kita mampu menahan diri untuk tidak mencoba hal-hal baru yang bertentangan dengan kodrat, baik sebagai mahluk sosial maupun sebagai hamba Allah. Saya mengamati, kegembiraan yang amat sangat terpancar dari wajah orang tua (mertua) ketika anak cucunya bercengkerama. Tidak sedikitpun memperlihatkan wajah masam ketika cucunya menimbulkan polusi suara. Artinya, kebahagiaan hakiki orang tua adalah memiliki anak dan cucu.

Andai, anda adalah penganut Childfree, yakinkah masih bisa berteman dengan saya?. Saya yakin masih bisa berteman, namun jangan pernah berharap, kelak, di masa tua, anda akan meminta salah seorang putra-putri saya untuk menemani anda, big no. Semoga tulisan sederhana ini mampu mengedukasi generasi Milenial dan generasi Z, sebab merekalah yang paling berpotensi terkena virus Childfree. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat, babontuk elok.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun