Mohon tunggu...
Chrisma Juita Nainggolan
Chrisma Juita Nainggolan Mohon Tunggu... Guru - Emak berliterasi

Guru ekonomi SMAN 1 Kualuh Selatan, Labura Sumut

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bangkitlah Anak Indonesia, Anak Terlindungi, Indonesia Maju

24 Juli 2022   22:54 Diperbarui: 24 Juli 2022   23:16 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 23 Juli merupakan hari istimewa bagi anak Indonesia, karena ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN) berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1984. Peringatan HAN merupakan bagian penting dalam upaya Bersama mengkampanyekan pemenuhan hak dan perlindungan anak Indonesia.

Secara sederhana, pengertian anak adalah manusia yang belum mencapai tahap dewasa secara fisik dan mental. Dewasa secara fisik ditandai dengan masa puber. Sementara, dewasa secara mental adalah periode perkembangan yang bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia dua puluhan tahun, dan yang berakhir pada usia tiga puluhan tahun (Wikipedia).

Tahun ini HAN mengusung tema "Anak terlindungi, Indonesia maju". Dengan logo khusus, tiga orang anak memegang bendera merah putih, yang memiliki makna bahwa anak Indonesia perlu didukung dan dilindungi, agar tumbuh menjadi manusia dewasa yang berjiwa Pancasila di bawah naungan sang merah putih. 

Anak Indonesia memiliki hak yang sama, tidak memandang suku, ras, agama, dan golongan. Bahkan anak disabilitas juga memiliki cita-cita dan impian yang sama.

Selanjutnya, warna merah putih membawa pesan kebersamaan serta nasionalisme anak-anak Indonesia. Anak Indonesia harus kreatif, semangat, dan saling dukung, juga menguatkan, meski dalam masa-masa sulit.

Berikutnya, pada logo HAN terdapat garis warna abu-abu, yang bermakna bahwa pandemic mengubah pola hidup anak Indonesia. Meski demikian, pemenuhan hak anak harus diprioritaskan. Anak harus tetap mampu berkreasi, dengan mendapat dukungan penuh dari keluarga.

Menurut data tahun 2022, anak usia 0-17 tahun di Indonesia ada sekitar 79,7 juta, atau 29,5% dari jumlah penduduk. Dapat dibayangkan, dengan jumlah sebanyak itu, maka tugas dan tanggung jawab kita sebagai orang dewasa sangat berat. Mari kita lihat sejenak apa saja kegiatan dan tingkah laku anak Indonesia selama pandemi hingga masa-masa pemulihan.

Sejak diberlakukannya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), maka anak Indonesia memiliki kebiasaan baru, lebih intens mengakrabi gadget serta munculnya istilah kaum rebahan. Gadget, dengan berbagai aplikasi, memudahkan anak melakukan berbagai kegiatan, mulai dari kegiatan positif sampai kegiatan negatif.

Jika anak Indonesia memaksimalkan penggunaan gadget untuk kebutuhan belajar, maka kita sangat-sangat bersyukur, sebab mereka mampu mengatasi masa sulit dengan arif. Sebaliknya, jika terjadi penyalahgunaan terhadap gadget, bagaimana reaksi kita?.

Masa pandemi membuat anak-anak Indonesia kebingungan menyalurkan energi yang benar-benar berlebih. Berdiam dirumah selama dua tahun, mengalihkan perhatian mereka pada dunia gadget yang penuh warna. Beragam aplikasi dengan mudah dapat di akses, ditambah lagi dengan konten-konten yang kurang edukatif sangat mudah melekat di benak mereka.

Maka, terjadi proses perubahan yang luar biasa. Seabrek aktivitas diunggah di media sosial, hingga kadang menabrak norma dan karakter dasar bangsa Indonesia. Atas nama konten, mereka rela berbuat apa saja, yang penting dikenal dan viral. 

Belum lama ini kita dikejutkan dengan kasus bullying, yang berujung pada meninggalnya anak SD, setelah mengalami perundungan yang luar biasa. Selain itu, ada anak remaja yang tewas ketika berusaha mengabadikan laju truk, sekali lagi, demi konten. Siapa yang harus bertanggung jawab dengan kasus-kasus seperti ini?.

Untuk mendidik dan melindungi anak, tanggung jawab utama adalah orang tua dan keluarga. Sejatinya, orang tua banting tulang, memeras keringat, semata demi anak, demi masa depan yang lebih baik. Jika kemudian orang tua mengantar anak ke sekolah, tidaklah serta-merta menjadi tugas guru untuk memanusiakan mereka. Peran orang tua sangat penting dalam tumbuh kembang anak.

Misalnya saja jika di sekolah anak dididik, dilatih disiplin, disemai ilmu dan keterampilan, maka orang tua harus mengawal pendidikan yang diterima di sekolah dengan cara mendampingi anak. 

Orang tua juga tidak bisa memaksakan kehendak pada anak. Anak ingin menjadi sastrawan, namun orang tua ingin anaknya menjadi guru misalnya (saya hindari untuk menyebut profesi lainnya). Sejalan dengan penerapan Kurikulum Merdeka, maka anak juga harus dimerdekakan untuk menggapai cita-citanya.

Tentu, kita ingin agar mata rantai antargenerasi tidak putus, untuk meneruskan perjuangan luhur para pejuang kita. Namun, apa jadinya jika anak Indonesia lebih senang "Melemaskan persendian", bermalas-malasan, bahkan ingin menjadi warga "Muda foya-foya, tua kaya raya", tanpa bersusah payah. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab semua pihak, kita harus berempati, tidak sekadar simpati. Anak Indonesia adalah anak-anak kita, mereka butuh pendampingan terlebih setelah alami masa sulit selama pandemi.

Semoga peringatan HAN tahun ini merupakan tonggak awal untuk menyamakan persepsi, bahwa anak Indonesia butuh pendampingan, dukungan, serta perhatian dari kita orang dewasa. 

Ayo bantu anak Indonesia meraih mimpi, meski Langkah masih tertatih. Selamat Hari Anak Nasional bagi seluruh anak Indonesia. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun