Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Duhai Netizen, Buat Apa Kau Hakimi Bu Susi?

3 Februari 2021   21:29 Diperbarui: 3 Februari 2021   22:38 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bebrapawaktu ini di tengah pandemic kita banyak mendengar ceramah keagamaan yg provokatif yg mengganggu kenyamanan, kita juga sering mendengar vlog2 yg juga countering sebaliknya. Saling hujat, membully perbedaan dll. Saya pikir sudah saatnya kita bicara untuk ayo menghentikan ..

Susi Pudjiastuti kontra Abu Janda

Abu Janda memang jos. Ia mampu persatukan sekian banyak kalangan melalui cuitan 'Islam arogan' yang dilontarkannya beberapa waktu lalu. 

Meski mengklarifikasi bahwa yang ia sebut sebagai arogan bukanlah Islam melainkan sebagian umat Islam saja, tak ayal kritik dan hujatan sudah dan masih akan terus menghujaninya.

Hal itu mengingatkan saya pada perkataan dai sejuta umat, KH. Zainuddin, MZ (allahyarham). Dalam sebuah tausiyahnya beliau mengatakan bahwa muslim yang lemah iman pun akan tersulut emosi jika agamanya dilecehkan. Dan dalam kasus ini, Abu Janda telah divonis sebagai penghina agama.

Sontak, tiap orang yang merasa dirinya muslim merespon dengan tendangan tanpa bayangannya telak ke pegiat media sosial itu. Termasuk Bu Susi Pudjiastuti yang blasteran NU - Muhammadiyah. Dalam sebuah cuitan, ia mengajak warga dunia maya untuk berhenti mengikuti alias meng-unfollow akun Abu Janda. 

Pro dan kontra mencuat. Susi pun mendapat serangan dari para pecinta janda...alah, Abu Janda. Ia pun sempat dilabeli kadrun (kadal gurun), label yang biasa ditujukan kepada para oposan pemerintah. Julukan yang, menurut saya, justru menunjukkan tingkat kekonyolan penyerunya.

Saya pikir ajakan unfollow akun Abu Janda itu bukan sesuatu yang berlebihan. Pertemanan di dunia maya tak selalu berarti bahwa seseorang benar-benar menjalin pertemanan. Jadi jangan dianggap sebagai ajakan untuk memutus silaturahmi. Emangnya Permadi juga kenal mereka semua yang follow akunnya? Mustahil to..

Ajakan seperti itu pun tak selayaknya disikapi dengan baper. Kalau memang benar-benar seirama dengan pola pikir dan cara bermedia sosial Abu Janda, pasti para follower-nya enggan mengikuti kampanye Susi. Bahkan akan membelanya. Woles saja, toh nggak ada hubungannya dengan keberlangsungan kepulan asap di dapur.

Susi Berat Sebelah?

Viralnya ajakan Susi untuk unfollow Abu Janda memberi kesan bahwa mantan Menteri Perikanan dan Kelautan itu berat sebelah.

Benarkah begitu?

Tidak, sob. Ternyata Susi dalam waktu berdekatan mengunggah cuitan bernada kritik kepada pihak-pihak yang gemar menunggangi ceramah keagamaan dengan muatan provokatif.

Bebrapawaktu ini di tengah pandemic kita banyak mendengar ceramah keagamaan yg provokatif yg mengganggu kenyamanan, kita juga sering mendengar vlog2 yg juga countering sebaliknya. Saling hujat, membully perbedaan dll. Saya pikir sudah saatnya kita bicara untuk ayo menghentikan ..

Begitu bunyi twit-nya pada 29 Januari lalu.

Hmmm, ceramah keagamaan? Kira-kira kepada siapa materi cuitan itu tertuju? Bukankah hal yang sama kerap muncul dari kalangan anti oposan? Jangan ngompol (ngomong politik) di masjid lah, jangan kotori tempat ibadah dengan cacian dan hujatan lah, atau ungkapan-ungkapan serupa lainnya.

Entah karena tak diviralkan atau karena alasan lainnya, unggahan itu sama sekali tak berbuah riak, gelombang ataupun tuduhan sebagai cebong, berudu, liberal, munafik atau yang lainnya kepada Susi.

Dengan dalih mengkritik penguasa, mimbar-mimbar keagamaan dijadikan tempat untuk melancarkan tudingan miring kepada pihak yang berlawanan. Mereka yang seharusnya membimbing umat dengan menyampaikan kebaikan melalui cara yang baik kadang justru terjungkal dalam kubangan fitnah dan provokasi.

Dan lanjutannya pun bisa ditebak. Kultur masyarakat kita yang menempatkan para pengkhotbah sebagai pembawa kebenaran akan memberikan legitimasi bagi setiap kalimat yang terlontar. Baik yang 100% benar, separuh benar atau bahkan kekeliruan yang berasal dari dugaan-dugaan yang berdasar dari pemberitaan parsial. Sungguh sebuah pendegradasian peran spiritual.

So, mari unfollow Abu Janda dan Tengku Zulkarnain.. eh?!!

Baca juga: Ada Wahabi di Balik Cuitan Abu Janda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun