Penyerangan Syekh Ali Jaber di Lampung menjadi amunisi bagi 2 belah pihak untuk menuding pihak lain. Satu pihak menuding orang bermental PKI sebagai dalangnya, pihak lain menuding radikalisme sebagai biang keladinya. Padahal aparat masih menggali informasi lebih dalam mengenai insiden itu.
Isu PKI dan Instrumen Hukum Pelarangannya
Bisa jadi dalam setengah bulan ke depan, di media sosial akan santer dikampanyekan pemutaran kembali film Penumpasan Gerakan 30 September/G30S-PKI. Tema kontra komunisme kerap dikumandangkan bersamaan dengan perlawanan terhadap penguasa.
Memanfaatkan sentimen anti PKI yang menorehkan sejarah kelam di republik ini, para oposan bahkan menyebut rejim yang berkuasa sebagai personifikasi terselubung dari gerakan pro komunisme. Kerjasama dengan Tiongkok dijadikan sebagai dalil pendukungnya.Â
Komunisme, marxisme dan leninisme jelas sudah ditetapkan sebagai paham terlarang di Indonesia. Larangan itu tertuang tegas dalam perundangan negara ini.
Baca juga :Â Pancasila dan Sengketa Anak Bangsa
Dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2017 misalnya, Pasal 59 ayat 4 huruf c menyebutkan bahwa organisasi kemasyarakatan yang hidup dan berkembanh di sini dilarang menganut, mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.*
Paham yang bertentangan dengan Pancasila sendiri dibabar lebih gamblang dalam penjelasan pasal tersebut.
Yang dimaksud dengan "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila" antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Â
Ketetapan negara yang memuat pelarangan eksistensi PKI pun masih berlaku hingga kini, yakni Tap MPRS No. XXV/1966.
Dikeluarkannya perangkat hukum serupa berupa Tap MPR No. I/MPR/2003 memperkuat kedudukan dan menutup ruang hukum untuk mengubah atau mencabut TAP MPRS XXV Tahun 1966 itu.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/ - 9 - MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini, kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
(Tap MPR No. I/MPR/2003 pasal 2)Â *
Namun keberadaan instrumen hukum itu tak serta merta menyurutkan pihak-pihak untuk menyuarakan opininya tentang kebangkitan komunisme atau setidaknya menengarai adanya gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh para simpatisan paham komunis. Termasuk dalam kasus penusukan Syekh Ali Jaber ini.
Seperti biasa, salah satu kelompok yang menyatakan sinyalemen gerakan ala PKI dalam upaya pembunuhan ulama adalah PA 212.
Hal itu tertuang dalam pernyataan sikap yang ditandatangani ketua umumnya, Slamet Maarif. Dalam keterangannya pun, Slamet menyerukan kepada umat Islam untuk memberlakukan hukum adat dan qishas jika hukum negara tidak bisa ditegakkan kepada si pelaku.Â
Radikalisme bermotif Agama
Oleh pihak lain, tudingan dialamatkan kepada pelaku radikalisme tepatnya radikalisme bermotif agama. Tindakan itu seolah menyelaraskan diri dengan kampanye pemerintah dalam memerangi ekstrimisme bermotif agama yang mengarah pada tindakan teror.
Baca juga :Â Good Looking nan Radikal? Mungkin Ada Benarnya
Perang melawan radikalisme itu hingga kini masih saja menjadi ajang adu argumentasi antara yang pro dan kontra. Terkadang tema itu pun menelurkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Yang masih segar dalam ingatan adalah pernyataan Menteri Agama tentang penampilan agen radikalisme yang good looking beberapa waktu lalu.
Kontraradikalisme sendiri dianggap telah memojokkan umat Islam dan menempatkannya pada posisi tertuduh. Meski dalam praktiknya, keberadaan golongan yang memiliki sikap keras dalam beragama tak dapat dinafikkan. Keras di sini tak selalu terwujud dalam perilaku yang melanggar hukum namun juga pada pola pikir yang hanya meyakini kebenaran berada di pihaknya semata.Â
Golongan yang terakhir disebut itulah yang embrionya telah muncul sejak zaman nabi. Adalah seorang badui yang pernah menghardik Rasulullah karena menganggapnya tak adil dalam pembagian ghanimah (rampasan perang) yang biasa dijadikan contoh si kebenaran tunggal itu.
Lalu di penghujung masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, para ekstrimis itu semakin nyata dan mewujud sebagai gerakan pemberontakan.
Mereka inilah yang dinamakan golongan khawarij, yang menuduh Ali melenceng dari syariat Allah dan menghukumi halal darahnya. Walhasil, salah satu dari mereka --Abdurrahman bin Muljam -- berhasil melaksanakan misinya membunuh khalifah ke empat itu.Â
Para ekstrimis itu bukannya dengan sengaja ingin merusak citra Islam. Mereka justru bermaksud agar syariat ditegakkan, tercermin dari semboyan "La Hukma Illa Lillah" yang meluncur dari lisan mereka. Meski pada kenyataannya justru merekalah yang lari dari Islam ibarat anak panah yang terlepas dari busurnya.
Baca juga :Â Jakarta PSBB Total? Nggak Apa, Sudah Biasa
Golongan yang mewarisi paham radikal itu hingga kini masih saja eksis. Neo khawarij telah mengambil peran yang dilakoni baik oleh Dzulkhuwaisirah maupun Ibnu Muljam dan menyusup di antara para pencari ilmu yang awam dan rentan dicekoki ajaran ekstrim.
Irisan Kontraradikalisme dan Anti Komunisme
Para pendukung kontraradikalisme dan anti PKI seolah menempatkan diri pada posisi yang berseberangan. Hal itu karena satu sama lain tak saling memberikan dukungan namun justru saling mengkritik.
Menurut saya, jika dicermati, mereka hanya mendefinisikan titik berat yang berbeda dalam dua kasus itu. Kontraradikalisme sejatinya pun menolak komunisme dan golongan yang anti PKI juga menolak radikalisme berbalut agama.Â
Namun ada satu hal yang memperuncing perbedaan itu, apalagi kalau bukan politik. Yup, politik memang mampu dengan mudah menciptakan jurang pemisah ataupun sebaliknya, menyatukan yang semula terpisah. Beginilah suasana hidup di negara demokrasi, genks. Penuh intrik nan eksotik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H