Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Secuil Intoleransi di "The Spirit of Java"

18 Agustus 2020   21:02 Diperbarui: 18 Agustus 2020   22:57 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polisi berjaga di gang masuk lokasi kejadian keributan antarwarga di Mertodranan, Pasar Kliwon, Solo, Minggu (9/8/202). (Solopos/Nicolous Irawan)

Beberapa hari lalu, saya sempat terhenyak dengan status seorang teman di Facebook. Dikatakannya bahwa ia akan menghapus semua pujiannya terhadap Jokowi jika keonaran di Solo cukup diselesaikan dengan materai 6.000.

Lalu saya brows berita di Google untuk mencari tahu peristiwa apa gerangan yang terjadi di kota asal Presiden Jokowi itu.

Intoleransi di Tengah Kedamaian

Setiap menjawab pertanyaan tentang daerah asal, serta merta akan terbayang tentang begitu kalemnya orang yang berasal dari kota yang kerap disebut dengan The Spirit of Java itu.

Solo dan Yogya seolah mewakili segala hal yang bisa dipersingkat dengan istilah alon-alon waton kelakon, nggak usah buru-buru asal kesampaian. 

Lalu terjadinya insiden itu, tepatnya pada Sabtu malam, 8 Agustus 2020. Media menceritakannya sebagai pembubaran acara midodareni di Solo*. Midodareni adalah tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan jelang pernikahan.

Saya sempat melihat potongan video yang memperlihatkan sekelompok massa menghadang lalu menganiaya pemotor yang menjadi hadirin dalam acara tersebut. 

Yang membuat saya lebih terkejut adalah bahwa hal yang tak mengenakkan itu menimpa keluarga seorang keturunan Arab, Sayyid Umar Assegaf. Kejadian itu pun terjadi di Pasar Kliwon yang setahu saya banyak ditinggali oleh para keturunan Arab.

Peristiwa itupun sampai mengundang perhatian Kemenag. Melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Menag Fachrul Razi mengecam tindakan yang disebutnya intoleransi itu. Selanjutnya ia pun akan meminta Kanwil Kemenag Jateng untuk lebih mengintensifkan dialog dengan melibatkan tokoh agama dan aparat.

Polda Jateng pun berindak cepat dan berhasil mengamankan terduga pelaku intoleransi tersebut*.

Tradisi Jadi Akar Penolakan?

Peristiwa itu diduga berawal dari kesalahpahaman sekelompok orang yang menyebut adanya kegiatan terlarang yang dilakukan oleh keluarga Assegaf. Hal itu diungkapkan Lurah Pasar Kliwon sebagaimana yang dilansir Solopos.com*.

"Jalarane [penyebab]-nya kesalahpahaman. Ada wargaku mau lamaran. Rumangsane acara yang melanggar," ujar Lurah Pasar Kliwon, Supatno pada Minggu (9/8/2020).

Mengenai motif penolakan sebenarnya, polisi masih melakukan penyelidikan seiring dengan ditangkapnya para terduga pelaku. 

Namun dari keterangan Supatno di atas, kesimpulan sementara penyebab penyerangan itu bukanlah tradisi yang dikenal sebagai midodareni. Meski tradisi-tradisi di masyarakat seperti itu pada kenyataannya memang ada yang menggugat dan menyebutnya sebagai kegiatan yang tak bersesuaian dengan ajaran Islam. Bahkan di antara tradisi itu disebut sebagai warisan agama yang dipeluk oleh orang Jawa sebelum datangnya Islam. 

Lalu apa gerangan yang disinyalir sebagai acara yang melanggar itu? 

Hasil penelusuran saya di media daring, acara tersebut dikaitkan dengan tradisi kaum minoritas di Indonesia yakni kaum Syiah*.

Syiah menjadi bahasan sensitif di kalangan umat Islam. Oleh media-media tertentu, ajaran ini divonis bukan saja menyempal dari ajaran Islam namun sudah bisa dibilang keluar dari Islam alias kafir. Dan siapa golongan yang menjadi sponsor media-media tersebut pun bisa ditengarai dengan mudah. Untuk mempresentasikan wajah buruk Syiah, disajikan pula berbagai konflik kekinian yang melibatkan Syiah dan Sunni. Suriah dan Yaman adalah contohnya. 

Carut marutnya konflik dalam negeri yang melibatkan bukan hanya satu faktor pun disederhanakan menjadi konflik sektarian, Sunni versus Syiah. Dan masyarakat tanah air pun buru-buru mengikuti arahan propaganda media-media tersebut. Betul, bisa jadi ada konflik bertema sektarian di sana. Tapi amat mungkin, ada faktor lain yang justru lebih besar dan membuat konflik membara begitu dahsyatnya. 

Counter Propaganda Sunni vs Syiah

Sebenarnya banyak media yang menyajikan counter terhadap propaganda sektarian di Timur Tengah. Namun sebagian kalangan sudah kadung memakan pemberitaan sebelumnya yang menyatakan bahwa konflik sektarianlah yang terjadi di sana. 

Bahkan saking yakinnya dengan pemberitaan itu, mereka tak segan menuduh golongan lain yang berbeda sikap dengan mereka sebagai pro Syiah. Hal itu yang kemudian menjadikan tuduhan Syiah menjadi lazim dan tak terkontrol.

Dan bisa jadi, keberhasilan propaganda anti Syiah itu mewujud dalam masifnya penolakan sebagaian warga di Solo beberapa waktu lalu. Jika memang hal itu yang terjadi maka cukup beralasan jika fanatisme sektarian dapat dengan mudah mengoyak kebersamaan di masyarakat pecinta kedamaian sekalipun.  

- bersambung -

Sumber: klik tanda *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun