Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mudik Dilarang, Momen Melayang

1 April 2020   01:03 Diperbarui: 1 April 2020   13:49 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemudik(KOMPAS IMAGES / RODERICK ADRIAN MOZES)

Sebulan yang lalu, saya sudah mengantongi tiket pulang kampung untuk sekeluarga. Seperti biasa, pada H-90 para calon pengguna jasa angkutan kereta api sudah berburu tiket. 

Mulai dari pukul 00.01, situs resmi PT. Kereta Api Indonesia, kai.id dan KAI Access sudah dibanjiri ribuan orang. Tak pakai lama, tiket pun ludes terjual. Bagi yang tak kebagian, harapan selanjutnya ada pada kereta tambahan yang entah kapan dibuka penjualan tiketnya.

Kereta Api, Moda Favorit Pulang Kampung
Perbaikan sarana angkutan darat satu ini mulai terasa saat Ignatius Jonan menjabat sebagai Direktur Utama KAI. Hingga kini pun, KAI terus berbenah diri untuk menjadi moda transportasi pilihan konsumen.

Dulu, saya masih sempat merasakan suasana gerbong KA yang semrawut, pedagang asongan yang wara-wiri dan membeli 'tiket berdiri'. Yup, tiket berdiri! 

Pemilik tiket ini biasanya duduk di sepanjang koridor kereta dengan cara menggelar alas berupa koran atau tikar. Kondisi seperti itu dijumpai pada kereta kelas ekonomi dan bisnis. 

Lambat laun, semua itu hilang dan perjalanan menjadi lebih nyaman. Tak ada lagi pedagang asongan yang mondar-mandir, tak ada lagi gelaran di koridor kereta, waktu tempuh pun nyaris selalu ditepati dan semua gerbong yang dilengkapi dengan AC termasuk kelas ekonomi.

Tapi semua itu ada konsekuensinya. Tiketnya makin mahal. 😁

Bagi perantau seperti saya, pulang kampung di hari raya bisa dibilang sebagai sebuah kewajiban. Tak afdol rasanya jika lebaran dilewatkan tanpa silaturahmi dengan keluarga besar, bertemu tetangga atau teman masa kecil.

Di sana, ada tukar kabar dan saling cerita tentang bermacam hal. Namun ada saja yang resah dengan kondisi itu. Yakni para jomblo.

Hipwee.com
Hipwee.com
Mudik yang Terancam Gagal
Selama kurang lebih sepuluh tahun tinggal selemparan sandal dari ibukota, baru sekali saya lewatkan Idul Fitri di sini. Itu pun terjadi karena usia si bungsu yang masih terlalu kecil untuk diajak melakukan perjalanan jauh.

Dari Jakarta, kampung saya di sebelah barat Yogyakarta rata-rata bisa ditempuh dalam waktu 9 jam dengan kereta. Dengan mobil, kira-kira 12 jam. Tapi itu dulu, kata orang sekarang perjalanan dari barat ke timur lebih cepat durasinya karena telah diaktifkannya ruas tol Trans Jawa.

Meski lama, perjalanan pulang kampung selalu terasa ringan. Sedikit berbeda dengan perjalanan balik.

Sayangnya, mudik tahun ini terancam gagal. Covid-19-lah biang keroknya.

Sebulan lalu, sama sekali tak terbersit di pikiran bahwa tradisi tahunan ini akan mengalami gangguan. Optimis dalam 2 bulan ke depan, saya akan kembali mengayuh sepeda bersama anak sulung di tengah persawahan di dekat rumah orang tua. Sambil memandang kereta Pramex yang melaju dari Yogya ke Solo atau sebaliknya.

Meski saat ini sudah banyak ditumbuhi bangunan, baik rumah tinggal, pabrik atau bangunan lainnya, masih cukup tersisa lahan hijau yang ditanami padi ataupun tanaman lainnya. 

Lumayan untuk memanjakan mata yang saban hari hanya dihadapkan pada ramainya lalu lintas di ibu kota. 

Batal mudik, pasti ada yang hilang. Yang pasti adalah momen silaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga di kampung. Bisa jadi bukan hanya saya dan keluarga kecil yang kehilangan momen itu. Namun saudara-saudara yang kebanyakan tinggal di Jawa Timur pun akan mengalami hal serupa. 

Saat menelpon orang tua akhir pekan lalu pun, ibu bercerita bahwa suasana di sana pun turut sepi karena wabah ini. Meski belum ada kabar akan adanya karantina wilayah.

Tak Ada Mudik Idul Fitri, Idul Adha Saja
Jika ternyata 2 bulan lagi gagal mudik, nampaknya Idul Adha menjadi opsi pengganti. Namun permasalahannya ada pada durasi liburan yang pendek. 

Mengajukan cuti pun, tak bisa terlalu banyak. Kecuali jika ada andil dari pemerintah sebagai kompensasi dari kampanye tak pulang mudik tahun ini. Sebagaimana yang dilakukan pada penambahan libur Idul Fitri 2020.

Bagaimanapun juga, kejadian kali ini adalah kejadian luar biasa yang memerlukan pengorbanan semua pihak. Saat ini, saya berpikir kalaupun pemerintah dan semua pihak mampu menekan laju Covid-19 sebelum lebaran tiba, mudik tetap batal.

Kemenhub dan Pemerintah Provinsi DKI sudah membatalkan programnya. Tak menutup kemungkinan instansi lain akan menyusul, baik negeri maupun swasta. Makin yakin saat membaca berita bahwa pemerintah tengah menyiapkan kebijakan larangan mudik 2020.

 

Baca juga artikel menarik lainnya :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun