Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Saat Hamil Pra Nikah Tak Lagi Jadi Beban

24 Maret 2020   00:38 Diperbarui: 24 Maret 2020   05:14 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kenapa pas ada yang mau bertanggung jawab dan jujur akan hal itu malah dicerca sih?"

Mas, Aku Hamil..

Persamaan antara wanita hamil dan rumput gondrong konon pernah diungkapkan oleh Gus Dur dalam sebuah anekdot. Sama-sama telat nyabutnya. Jawaban yang singkat, padat dan jelas. 

Hal itulah yang terjadi pada sekian milyar kehamilan. Telat 'nyabut' atau memang sengaja 'tak dicabut'. 

Normatifnya, kehamilan selalu berawal dengan proses pernikahan. Pernikahan adalah sebuah prosesi sakral yang digariskan agama-agama dan kepercayaan.

Mengemukakan norma agama sebagai sebuah dalil tak selalu pantas disebut sok relijius. Sebab jika semua hal yang terkait dengannya selalu diberi embel-embel relijius, maka orang yang mahir ilmu Kalkulus pun akan dibilang relijius. Sebab belajar pun adalah salah satu perintah agama. 

Lalu bagaimana sikap seorang laki-laki saat mendengar pengakuan seorang wanita yang hamil karena perbuatannya padahal mereka belum terikat pernikahan sah?

Ada dua skenario, menerima atau tidak. Menerima kenyataan itu pun terbagi lagi menjadi ter-publish dan tidak. Dan kondisi pertama inilah yang dijumpai pada sekian banyak pesohor di negeri ini. Hamil sebelum nikah alias DP dulu atau yang di kampung saya disebut sebagai LKMD, Lamaran Keri Meteng Dhisik.

Mereka mem-publish kejadian luar biasa yang menimpanya tanpa merasa risih. Seolah hal itu sudah menjadi kebiasaan yang berlaku di masyarakat kita yang terkenal dengan adat ketimurannya. Adat yang diwarnai dengan aturan-aturan yang memanusiakan manusia.

Saat Kejujuran Dijadikan Tameng

"Ketika ada orang yang buang bayi di selokan banyak yang bilang, 'kenapa sih kok dibuang? ini kan anugerah'," kata seorang stand up comedian terkenal dalam Channel YouTube miliknya sebagaimana dilansir Detikhot.

"Kenapa pas ada yang mau bertanggung jawab dan jujur akan hal itu malah dicerca sih?", imbuhnya.

Ungkapan itu dilontarkannya menanggapi kesan tak bersimpatinya masyarakat kepada insiden tabu, hamil di luar nikah. Baginya, kejujuran dalam mengakui kehamilan yang 'tak wajar' itu layak diberikan apresiasi, bukan malah tudingan miring.

Tepat, kejujuran adalah sebuah hal yang bernilai baik. Namun dalam hal ini, mengatakan bahwa kejujuran dalam mengakui perbuatan melanggar norma lebih pantas dihargai adalah sebuah pembelaan yang dipaksakan.

Kita pun pantas bertanya balik," Benarkah hamilnya pasangan di luar nikah itu disengaja? Jika ya, mengapa sedari awal tak bersikap gentle dengan mengajak sang kekasih untuk melakoni proses perkawinan terlebih dahulu?". 

Itulah kejujuran yang berani, yang layak dihargai.

Nampaknya selebriti kita ini tak sadar atau enggan berpikir bahwa 'kejujurannya'dapat menjadi preseden buruk bagi generasi mendatang. Jika orang sudah tak malu lagi dalam mengakui perbuatan yang melanggar maka bukan tak mungkin hal itu akan menginpirasi sekian banyak orang yang mendengar atau menyaksikannya. Sebuah akibat yang buruk bagi kehidupan.

Betapa egoisnya orang yang demikian itu.

Dia harusnya sadar bahwa memaksakan sebuah pendapat yang notabene tak bersesuaian dengan norma yang sudah membumi adalah sebuah perbuatan tak bijak. Melanggar norma setidaknya menimbulkan rasa gelisah bagi pelakunya. 

Menuduh orang lain terlalu mancampuri urusan pribadi, dalam hal ini tidaklah tepat. Bolehlah kita tanya ke khalayak, bagaimana sekiranya jika ada pasangan tak sah yang melakukan perbuatan yang tak sepatutnya?

Saya rasa mereka tak akan suka atau risih dengan hal itu. 

Di situlah seharusnya setiap pribadi sadar bahwa kehadirannya dalam sebuah lingkungan sosial harus disertai dengan sikap tenggang rasa yakni menjaga perasaan komunitas itu dari hal-hal yang mengganggu. Bukan malah mengedepankan keinginan pribadinya untuk mengalahkan tata kehidupan masyarakat.

Kasihanilah anak cucumu..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun