Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Gus Muwafiq, Adakah Agenda FPI di Belakangnya?

15 Desember 2019   20:52 Diperbarui: 15 Desember 2019   22:15 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unjuk rasa massa yang tergabung dalam PA 212 dan FPI di depan Bareskrim Mabes Polri (13/12) | Foto Kompas

Jumat (13/12) selepas shalat Jumat, massa Persaudaraan Alumni (PA) 212 dan Front Pembela Islam (FPI)  melakukan aksi unjuk rasa di depan Mabes Polri. Mereka menuntut Bareskrim Polri untuk memproses beberapa pihak yang dinilai melakukan penistaan agama diantaranya Sukmawati Soekarnoputri, Ade Armando dan Gus Muwafiq. 

Sebagaimana diberitakan, Gus Muwafiq dianggap telah berlaku kurang adab terhadap nabi saat menceritakan proses kelahirannya serta masa kecilnya yang diasuh oleh sang kakek. Menyadari terjadinya polemik, dai berambut gondrong itu lantas meminta maaf kepada khalayak setidaknya dalam dua kali kesempatan. 

Sementara Sukmawati, hingga kini belum diberitakan meminta maaf atas pernyataannya di depan sebuah forum diskusi yang dinilai membandingkan Nabi Muhammad dan Presiden Soekarno.

Lagi-lagi Unjuk Rasa

Ketua Media Centre PA 212, Novel Bamukmin menilai lambatnya penanganan kasus Sukmawati dikarenakan adanya campur tangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beberapa waktu lalu, KH. Ma'ruf Amin memang pernah menyarankan agar kasus itu diselesaikan dengan mediasi. 

"MUI menjadi biang kerok karena patut diduga oknum Ketua MUI yang tidak mau mengundurkan diri itu diduga mengintervensi sesuai dengan jabatannya sebagai Wapres," ujar Novel sebagaimana dilansir CNN. 

Padahal sejatinya MUI telah mengeluarkan sikap atas kasus ini pada Nopember lalu. Ada beberapa poin pernyataan sikap MUI yang telah dirilis diantaranya menolak proses mediasi yang dilayangkan oleh pengacara Sukmawati. Hal itu disampaikan MUI melalui Ketua Komisi Fatwanya, Aminuddin Yakub. Jadi entah Novel alpa akan informasi ini atau ada hal lain. 

Pada 6 Desember lalu, di depan kantor PCNU Surakarta terjadi keributan antara sekelompok massa dan massa NU yang bersiaga di sana. Kejadian itu menyusul konvoi yang melewati kantor cabang NU tersebut. Polisi mengidentifikasi adanya elemen Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) dalam bentrok itu. Namun hal itu disanggah oleh juru bicara DSKS Endro Sudarsono. Dia hanya mengkonfirmasi kegiatan DSKS yang melakukan unjuk rasa di Mapolresta Surakarta bukan konvoi di depan kantor PCNU.

Imam besar FPI yang masih belum kembali dari Saudi, Habib Rizieq Shihab, pun angkat bicara mengenai kasus ini. Dia menyatakan bahwa sebaiknya para pendukung Gus Muwafiq tidak menyerang balik umat Islam yang tersinggung atas isi ceramah kiai NU itu. Dia pun mendorong adanya permintaan maaf secara terbuka oleh yang bersangkutan. 

Tanggapan atas komentar Habib Rizieq datang dari Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas. Putra ulama besar NU, KH. Cholil Bisri itu menyatakan bahwa Gus Muwafiq sudah mengakui kealpaannya dan telah meminta maaf kepada publik baik melalui video maupun dalam pengajian di Al-Muayyad, Surakarta 7 Desember lalu. Yaqut pun menyindir pernyataan Rizieq dengan mempertanyakan apakah dia menjadi standar diterima atau ditolaknya permintaan maaf Muwafiq.

Ngotot Kasus Muwafiq, FPI Ada Motip Lain? 

Tarik ulur perpanjangan ijin FPI menjadi topik hangat beberapa waktu belakangan ini. Kegamangan dalam memberikan legalisasi FPI mencuat karena dalam AD/ART-nya memuat misi khilafah, tepatnya pada pasal ke-6 yang berbunyi :

"Visi dan misi organisasi FPI adalah penerapan Syariat Islam secara kaaffah di bawah naungan khilaafah Islamiyah menurut Manhaj Nubuwwah, melalui pelaksanaan da'wah, penegakan hisbah dan pengamalan jihad"

Ketua Umum FPI, Ahmad Sobri Lubis dalam menanggapi kegamangan itu menjelaskan bahwa pasal tersebut sudah dijelaskan dalam Ketetapan Munas III FPI pada 2013. Dalam TAP/06/MNS-III/FPI/SYAWWAL/1434 H itu dikatakan bahwa khilafah yang dimaksud bukanlah untuk menghilangkan eksistensi negara bangsa seperti Indonesia, melainkan untuk menghilangkan sekat antara negara-negara Islam khususnya yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Seperti membentuk parlemen bersama, pakta pertahanan bersama dan penentuan mata uang bersama di antara negara-negara Islam. 

Bagi orang awam, ketetapan itu memuat ambiguitas FPI. Karena istilah khilafah (dan khilafah ala minhaj nubuwwah) lekat dengan penyatuan teritori sebagaimana yang selalu didengungkan oleh para penyeru khilafah seperti Hizbut Tahrir. Tak sama dengan deskripsi istilah dalam ketetapan FPI di atas.

Permasalahan serupa sama sekali tak dialami NU sebagai ormas yang sejatinya sama persis dengan FPI dalam akidah dan fiqih. Sedari awal NU commit terhadap NKRI. Diskursus khilafah tak menghalangi NU untuk mengakui NKRI sebagai negara berdaulat dilihat dari sudut pandang syariat. Sebab NU memandang kewajiban muslim terletak pada pengangkatan khalifah bukan pembentukan satu teritori bersama seluruh umat Islam atau khilafah.

Hal itulah yang membuat ormas ini tak mungkin membersamai gerakan yang merongrong ataupun ditengarai merongrong keberlangsungan NKRI semenjak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di masa revolusi hingga Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di masa reformasi. Berbeda dengan FPI yang jelas bergandengan tangan dengan HTI dalam beberapa kesempatan. 

Dengan pemetaan di atas, apakah FPI menempatkan NU sebagai entitas yang dianggap menghalangi eksistensinya di Indonesia? 

Saat muncul kasus yang melibatkan nahdliyyin, FPI menemukan momen untuk kembali mengumpulkan suara pasca berlalunya momentum politik 2019 dan menggoyang NU yang mendukung keberlangsungan pemerintahan. 

Bisa saja mereka berkilah bahwa yang dijadikan sasaran hanyalah oknum, bukan NU secara organisatoris atau keseluruhan. Namun pada kenyataannya, banyak orang yang enggan membedakan oknum NU dan NU. Dan yang pasti, mempernasalahkan seorang Muwafiq pasti lebih sexy daripada menggoreng perilaku kurang adabnya Hanan Attaki dan Evie Effendi, meski semuanya sama-sama telah meminta maaf kepada publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun