Tarik ulur perpanjangan ijin FPI menjadi topik hangat beberapa waktu belakangan ini. Kegamangan dalam memberikan legalisasi FPI mencuat karena dalam AD/ART-nya memuat misi khilafah, tepatnya pada pasal ke-6 yang berbunyi :
"Visi dan misi organisasi FPI adalah penerapan Syariat Islam secara kaaffah di bawah naungan khilaafah Islamiyah menurut Manhaj Nubuwwah, melalui pelaksanaan da'wah, penegakan hisbah dan pengamalan jihad"
Ketua Umum FPI, Ahmad Sobri Lubis dalam menanggapi kegamangan itu menjelaskan bahwa pasal tersebut sudah dijelaskan dalam Ketetapan Munas III FPI pada 2013. Dalam TAP/06/MNS-III/FPI/SYAWWAL/1434 H itu dikatakan bahwa khilafah yang dimaksud bukanlah untuk menghilangkan eksistensi negara bangsa seperti Indonesia, melainkan untuk menghilangkan sekat antara negara-negara Islam khususnya yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Seperti membentuk parlemen bersama, pakta pertahanan bersama dan penentuan mata uang bersama di antara negara-negara Islam.Â
Bagi orang awam, ketetapan itu memuat ambiguitas FPI. Karena istilah khilafah (dan khilafah ala minhaj nubuwwah) lekat dengan penyatuan teritori sebagaimana yang selalu didengungkan oleh para penyeru khilafah seperti Hizbut Tahrir. Tak sama dengan deskripsi istilah dalam ketetapan FPI di atas.
Permasalahan serupa sama sekali tak dialami NU sebagai ormas yang sejatinya sama persis dengan FPI dalam akidah dan fiqih. Sedari awal NU commit terhadap NKRI. Diskursus khilafah tak menghalangi NU untuk mengakui NKRI sebagai negara berdaulat dilihat dari sudut pandang syariat. Sebab NU memandang kewajiban muslim terletak pada pengangkatan khalifah bukan pembentukan satu teritori bersama seluruh umat Islam atau khilafah.
Hal itulah yang membuat ormas ini tak mungkin membersamai gerakan yang merongrong ataupun ditengarai merongrong keberlangsungan NKRI semenjak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di masa revolusi hingga Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di masa reformasi. Berbeda dengan FPI yang jelas bergandengan tangan dengan HTI dalam beberapa kesempatan.Â
Dengan pemetaan di atas, apakah FPI menempatkan NU sebagai entitas yang dianggap menghalangi eksistensinya di Indonesia?Â
Saat muncul kasus yang melibatkan nahdliyyin, FPI menemukan momen untuk kembali mengumpulkan suara pasca berlalunya momentum politik 2019 dan menggoyang NU yang mendukung keberlangsungan pemerintahan.Â
Bisa saja mereka berkilah bahwa yang dijadikan sasaran hanyalah oknum, bukan NU secara organisatoris atau keseluruhan. Namun pada kenyataannya, banyak orang yang enggan membedakan oknum NU dan NU. Dan yang pasti, mempernasalahkan seorang Muwafiq pasti lebih sexy daripada menggoreng perilaku kurang adabnya Hanan Attaki dan Evie Effendi, meski semuanya sama-sama telah meminta maaf kepada publik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H