New York Times tanggal 20 Nopember 1945 memberitakan tentang kondisi Indonesia saat menyambut kedatangan pasukan Inggris yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI). Pasukan itu mendarat di 2 kota besar di Indonesia yakni Jakarta pada 15 September 1945 dan Surabaya pada 25 Oktober 1945.Â
Mereka didatangkan atas nama Blok Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II dengan tugas melucuti tentara Jepang dan memulangkannya ke negerinya serta membebaskan semua tawanan perang yang ditahan Jepang. Namun kedatangan mereka memantik perlawanan bersenjata yang masif dari rakyat Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Sebab dalam rombongan itu terdapat pula Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yang bertugas mengembalikan negara baru ini ke bawah penguasaan Belanda.
Tewasnya Mallaby dan Pertempuran SurabayaÂ
Dikeluarkannya maklumat pemerintah Republik Indonesia pada 31 Agustus 1945 membuat bendera merah putih berkibar di seantero negeri.Â
Di Surabaya, hal itulah yang memantik terjadinya perobekan bendera Belanda yang berkibar di Hotel Yamato, 18 September 1945. Pengibaran bendera Belanda itu tentu saja dianggap sebagai pelecehan terhadap kedaulatan negara terlebih lagi dilakukan tanpa ijin. Kericuhan akibat tak adanya kesepakatan antara sekelompok orang Belanda pengerek bendera Belanda dan perwakilan Indonesia memantik kericuhan antara rakyat dan pasukan Inggris.Â
Pertempuran terbuka terjadi pada 27 Oktober dan mereda saat ditandatanganinya gencatan senjata pada 29 Oktober 1945. Namun kondisi itu tak berlangsung lama.Â
Pada 10 Nopember 1945, berlangsunglah pertempuran sengit dengan skala yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Pemicu dari serangan masif darat dan udara itu adalah kematian seorang pimpinan pasukan Inggris di Jawa Timur, Brigadir Jendral Aubertin Walter Sothern Mallaby. Mallaby adalah komandan Brigade 49 Divisi India yang berkekuatan 6.000 personil dan merupakan bagian dari AFNEI.Â
Kematian Mallaby membuat pimpinan tertinggi AFNEI, Mayor Jendral Eric Carden Robert Mansergh mengultimatum arek-arek Surabaya untuk menyerahkan senjata dan mengakhiri perlawanan terhadap AFNEI dan NICA.Â
Jauh panggang dari api, pamflet-pamflet yang disebarkan oleh pesawat-pesawat Inggris justru memancing kemarahan dari rakyat Surabaya. Batas waktu pukul 06.00 WIB tanggal 10 Nopember 1945 tak diindahkan. Dan akhirnya pecahlah perlawanan rakyat Surabaya melawan pasukan Inggris dengan persenjataan yang jauh lebih lengkap.
New York Times dan Resolusi Jihad
New York Times (NYT) tanggal 19 Nopember 1945 menurunkan berita setidaknya terdapat 30.000 hingga 40.000 korban jiwa rakyat Indonesia yang memenuhi Sungai Kalimas yang membelah Surabaya. Cukup representatip untuk menceritakan betapa masifnya pertempuran yang terjadi.Â
Ada hal yang menarik dari tulisan NYT tanggal 19 Nopember 1945. Di dalam ulasan, tertulis peran dari pemimpin Islam dalam meggelorakan semangat perlawanan. Disebutkannya bahwa tak ada rasa takut dari para pemuda dalam menyambut rentetan peluru dari senapan mesin tentara Inggris seolah mereka tak memperhitungkan akan kehilangan nyawa.Â
Selama ini, buku-buku sejarah memang mengabadikan pekikan takbir yang dikumandangkan oleh pemuda Soetomo atau lebih dikenal sebagai Bung Tomo yang memompa semangat para pejuang. Namun ada fragmen sejarah yang tak terungkap dalam peristiwa heroik 10 Nopember yakni rekomendasi jihad dari para ulama.Â
Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama
Pada tanggal 21 Oktober 1945, para konsul organisasi massa Islam pimpinan K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari, Nahdlatul Ulama dari berbagai daerah di Jawa dan Madura berkumpul di kantor Ansor Nahdlatul Ulama --ANO, yang kini dikenal sebagai GP Ansor-- di jalan Bubutan VI/2 Surabaya.Â
Dalam rapat yang dipimpin oleh Ketua Besar PBNU, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, disepakati beberapa poin sikap atas kondisi saat itu. Salah satunya menyatakan bahwa perlawanan terhadap pihak-pihak yang ingin kembali melakukan penjajahan terhadap negara Republik Indonesia adalah fardu ain (sebuah kewajiban bagi seluruh muslim yang mampu) bagi muslim yang berada dalam radius 94 km dari posisi masuk dan kedudukan musuh. Maklumat itu kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama.Â
Tuntutan pengakuan terhadap peran para "religious leader" sebagaimana yang diturunkan dalam pemberitaan NYT tanggal 19 Nopember 1945 itu mendapat respon pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo - Yusuf Kalla dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2015.Â
Oleh pemerintah, tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional (HSN) sebagai momentum untuk mengingatkan generasi mendatang akan adanya peran para pejuang muslim di tanah air dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Meski sebelum penetapannya, ada beberapa usulan mengenai tanggal peringatannya, namun akhirnya disepakati oleh segenap ormas Islam bahwa tanggal 22 Oktober cukup mewakili maksud dan tujuan peringatan itu.
(*) dari berbagai sumber.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI