New York Times (NYT) tanggal 19 Nopember 1945 menurunkan berita setidaknya terdapat 30.000 hingga 40.000 korban jiwa rakyat Indonesia yang memenuhi Sungai Kalimas yang membelah Surabaya. Cukup representatip untuk menceritakan betapa masifnya pertempuran yang terjadi.Â
Ada hal yang menarik dari tulisan NYT tanggal 19 Nopember 1945. Di dalam ulasan, tertulis peran dari pemimpin Islam dalam meggelorakan semangat perlawanan. Disebutkannya bahwa tak ada rasa takut dari para pemuda dalam menyambut rentetan peluru dari senapan mesin tentara Inggris seolah mereka tak memperhitungkan akan kehilangan nyawa.Â
Selama ini, buku-buku sejarah memang mengabadikan pekikan takbir yang dikumandangkan oleh pemuda Soetomo atau lebih dikenal sebagai Bung Tomo yang memompa semangat para pejuang. Namun ada fragmen sejarah yang tak terungkap dalam peristiwa heroik 10 Nopember yakni rekomendasi jihad dari para ulama.Â
Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama
Pada tanggal 21 Oktober 1945, para konsul organisasi massa Islam pimpinan K.H. Muhammad Hasyim Asy'ari, Nahdlatul Ulama dari berbagai daerah di Jawa dan Madura berkumpul di kantor Ansor Nahdlatul Ulama --ANO, yang kini dikenal sebagai GP Ansor-- di jalan Bubutan VI/2 Surabaya.Â
Dalam rapat yang dipimpin oleh Ketua Besar PBNU, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, disepakati beberapa poin sikap atas kondisi saat itu. Salah satunya menyatakan bahwa perlawanan terhadap pihak-pihak yang ingin kembali melakukan penjajahan terhadap negara Republik Indonesia adalah fardu ain (sebuah kewajiban bagi seluruh muslim yang mampu) bagi muslim yang berada dalam radius 94 km dari posisi masuk dan kedudukan musuh. Maklumat itu kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama.Â
Tuntutan pengakuan terhadap peran para "religious leader" sebagaimana yang diturunkan dalam pemberitaan NYT tanggal 19 Nopember 1945 itu mendapat respon pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo - Yusuf Kalla dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2015.Â
Oleh pemerintah, tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional (HSN) sebagai momentum untuk mengingatkan generasi mendatang akan adanya peran para pejuang muslim di tanah air dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Meski sebelum penetapannya, ada beberapa usulan mengenai tanggal peringatannya, namun akhirnya disepakati oleh segenap ormas Islam bahwa tanggal 22 Oktober cukup mewakili maksud dan tujuan peringatan itu.
(*) dari berbagai sumber.