"Ke-9 Bapak Jenderal Fachrul Razi sebagai menteri agama. Ini urusan (Menag) berkaitan dengan radikalisme, ekonomi umat, industri halal saya kira, dan terutama haji berada di bawah beliau,"Â ujar Jokowi saat mengenalkan Menteri Indonesia Maju di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Demikian dilansir detikcom.Â
Menanggapi pengangkatan seorang purnawirawan TNI untuk menduduki jabatan Menteri Agama (Menag), PBNU banyak menerima ketidakpuasan dari para kiai. Hal itu disampaikan Ketua PBNU Robikin Emhas dalam keterangan tertulisnya, Rabu (23/10) sebagaimana diberitakan NU Online.Â
Entah sebagai respon terhadap hal itu atau bukan, pada Jumat (25/10) Presiden melantik politisi PPP yang berasal dari kalangan NU, Zainut Tauhid Sa'adi sebagai wakil menteri untuk mendampingi Fachrul Razi.
NU dan RadikalismeÂ
Selama ini posisi Menag memang lekat dengan NU. Meski peran orang militer di kementerian agama kali ini bukanlah yang pertama kali. Tercatat nama Letjen TNI (Purn.) Alamsjah Ratoe Perwiranegara yang menjabat pada 1979 - 1983 dan Laksda TNI (Purn.) Tarmizi Taher yang menjabat pada 1993 - 1998.Â
Kini kondisi itu kembali terulang. Presiden Joko Widodo mengamanatkan jabatan Menag kepada seorang purnawirawan yang pernah menjabat sebagai Wakil Panglima TNI pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang juga "presiden"-nya orang-orang NU.Â
Purnawirawan yang juga kader Partai Hanura itu mengatakan meski bukan lulusan pesantren namun kehidupannya banyak bersinggungan dengan suasana keislaman yang kental. Dan berkaca pada pernyataan Jokowi maka penunjukan pria kelahiran Banda Aceh 72 tahun lalu itu memunculkan persepsi bahwa pemerintah makin serius dalam menangani radikalisme yang berkembang di tanah air.Â
Adapun NU, kiprah bermasyarakat dan bernegaranya selama ini cukup merepresentasikan penolakannya terhadap segala bentuk radikalisme, terutama yang berkedok agama. Karena perkumpulan itu pada mulanya memang didirikan untuk menghadapi radikalisme pemikiran dan tindakan satu kelompok di jazirah Arab pada era 1920-an (baca di sini).
Meski tudingan radikal yang ditujukan pada sebagian kecil umat Islam selalu berada dalam ranah perdebatan, NU berpendapat bahwa gerakan radikal sat ini memang melibatkan orang-orang Islam sebagai pelaksananya.Â
Menurut perspektip NU, radikalisme tak selalu terkait dengan tindakan destruktip. Pemaksaan paham, tuduhan kafir kepada sama muslim pun sudah pantas dikatakan sebagai tindakan radikal. Meski begitu, NU tetap menolak generalisasi bahwa Islam adalah paham yang lekat terhadap kekerasan.Â
"Islam di Indonesia terutama NU bukan Islam yang radikal seperti di Middle East. Saya harap masyarakat Amerika juga paham itu, jangan menggeneralisir bahwa Islam itu garis miring teroris, Islam garis miring radikal, itu jangan," papar Ketua Umum PBNU, K.H. Said Aqil Siroj dalam konferensi pers sesaat setelah menerima kedatangan Duta Besar AS, Joseph Donovan pada Senin lalu (21/10).Â