Demikian disampaikan Nuri Purwito Adi dari Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki) dalam pemaparannya di Temu Media terkait Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di gedung Kemenkes, Kamis (5/10) sebagaimana diberitakan oleh situs Departemen Kesehatan.
Tekanan yang tak dapat dinetralisir oleh seorang karyawan pada gilirannya akan mengakibatkan berkurangnya produktivitas. Jangankan merasa memiliki, melaksanakan sesuatu yang menjadi tugasnya pun akan terasa berat sehingga akan merembet kepada kualitas atau kuantitas pekerjaan yang dihasilkan.
Kesehatan Mental yang Tersisihkan
Banyak orang yang mengasosiakan gangguan mental dengan penyakit jiwa atau kegilaan. Padahal tidak begitu. Stress yang berkepanjangan atau depresi yang dialami seseorang sudah cukup mewakili istilah gangguan mental.Â
Jadi seseorang yang tengah mengalami gangguan jiwa tak harus menjadi orang yang berkeliaran di jalan dengan tubuh lusuh dan pakaian compang-camping sambil bicara yang tak jelas.Â
Gangguan mental dapat saja menimpa seseorang yang saban harinya bekerja di belakang meja sembari menghadap sebuah komputer dan bertumpuk dokumen di hadapannya.Â
Kesehatan mental sebenarnya sudah mendapat perhatian negara dengan diterbitkannya Undang-Undang Keselamatan Kerja No. 1 Tahun 1970. Pada pasal 8 disinggung mengenai kesehatan mental pekerja yang akan diterima maupun yang telah bekerja bekerja di sebuah perusahaan.Â
Pasal 8Â
(1) Pengurus diwajibkan memeriksakan kewajiban badan, kondisi badan dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya.
Pengurus yang dimaksud dalam pasal itu adalah pihak yang bertugas memimpin langsung suatu tempat kerja.Â
Meski begitu, perusahaan masih memandang kesehatan fisik sebagai faktor utama. Jaminan kesehatan yang mereka berikan ditujukan untuk membantu karyawan dalam masalah kesehatan fisik saja. Dan bisa jadi, masalah kesehatan yang mendera disebabkan oleh kelelahan psikis seseorang dalam dunia kerjanya.