Mbak Cipluk ngedhumel,"Arek-arek jaman now, nggak baca sejarah tapi sok tau."
"Napa to mbak?," tanya Badrun yang lagi mikir mau bikin status apa di facebook-nya.
Sambil menunjukkan beranda medsosnya, mbak Cipluk bercerita tentang ulah netizen yang dianggapnya telah menganeksasi sejarah untuk digunakan dalam kepentingan menjatuhkan martabat pemerintah.
Sering kita lihat, sindiran-sindiran kepada pihak yang kerap menyebut kelompok-kelompok yang dianggap intoleran, berhaluan keras, fanatik pada pendirian sendiri dan gemar menyalahkan pihak lain yang berseberangan. Hingga terlontar dari lidah-lidah mereka ungkapan-ungkapan menohok seperti "munafik", "setan bisu" bahkan "kafir" ke luar kelompoknya.
Bagi sebagian orang, terminologi radikal semacam itu disetarakan dengan "muslim fanatic" yang disematkan oleh media Barat terhadap bangsa Indonesia yang tengah berjibaku meraih kebebasan menentukan nasibnya, dulu. Dengan mengepos berita lawas dari New York Times, mereka seolah ingin menyamakan kaum radikal zaman ini dengan "moslem fanatics" yang tertulis di koran itu.
Tapi bisakah "moslem fanatics" zaman old itu dipersamakan dengan kaum radikal zaman now?
Tentu tidak. Kenapa?
Sejarah adalah kuncinya. Siapa yang dikatakan sebagai "moslem fanatics" saat itu?, yang dikatakan telah mengobarkan pertempuran dahsyat yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan?
Siapa pula yang dikatakan sebagai "moslem chief" yang ditulis dalam deretan kalimat New York Times itu?
Bisa dipastikan, tak akan ada satu pun jawaban --meskipun jawaban asal-asalan-- yang mengarah pada Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam, Ikhwanul Muslimin atau sejenisnya.
Sekali lagi, kuncinya adalah sejarah. Jangan sampai kita berkoar-koar bahwa ada upaya penghilangan sejarah perjuangan di tanah air ini, namun kita justru menggunakan sejarah yang kita sebut hilang itu untuk tujuan yang distortip. Seperti kasus ini.