Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media Sosial dan "Superiority Complex" Penggunanya

29 September 2019   06:28 Diperbarui: 29 September 2019   06:33 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Sumber poetsandquants.com

Seiring dengan perkembangan zaman, ungkapan bahwa lidah tak bertulang nampaknya punya padanan yang tak kalah eloknya. Yakni "jempol tak bertulang". Apa pasal? 

Karena jempol kini sudah dapat menggantikan lidah dan memiliki efek yang tak kalah hebat daripada lidah. 

Revolusi Media Sosial 

Media sosial (medsos) layak didapuk sebagai media penyebar informasi nomor wahid saat ini. Baik informasi valid, setengah valid atau sampah. Luasnya penggunaan medsos di tanah air memungkinkan penyebaran informasi secara masif di segala umur penggunanya. 

Sebagaimana dilansir Liputan6, sebuah portal diskon berjuluk CupoNation merilis hasil studinya mengenai pengguna media sosial di Indonesia. 

Pada awal tahun 2019, Indonesia adalah pengguna terbesar ke-4 Facebook dan Instagram. Dengan 120 juta pengguna Facebook dan 56 juta user Instagram, Indonesia menyisihkan negara-negara seperti Rusia, Turki ataupun Inggris dan hanya takluk di bawah Amerika Serikat, India dan Brasil. 

Sehingga secara tak langsung, fesbuker tanah air memiliki kontribusi dalam mengantarkan Mark Zuckerberg menduduki deretan ke-8 orang terkaya menurut Forbes. 

Sementara itu, pendiri Instagram Kevin Syntrom pun harus berkalang kekayaan dengan mengantongi USD 1.4 milyar atau sekitar Rp 20 trilyun sebelum dia mundur dari Instagram setahun lalu.

Pengaruh Media Sosial pada Penggunanya

Hampir pasti selalu ada 2 efek yang dapat disebabkan oleh suatu hal, positip dan negatip. Tambah teman meski nggak pernah ketemuan, ketemu teman lama, dapat istri setelah gagal dijodohin, dagangan tambah laku, tambah pengetahuan adalah contoh efek positipnya. 

Di kutub negatip, media sosial bisa menjadi lahan untuk menyebarkan berita bohong atau penyesatan opini, ajang adu argumentasi tak sehat, media distribusi hal-hal berbau pornografi dan asusila dan hal lain sejenisnya. 

Sifat media sosial layaknya sebuah konduktor. Tak perlu jauh-jauh kita ambil contohnya. Panasnya suhu politik tanah air akhir-akhir ini begitu gampang terdistribusi melalui rentetan kalimat di media sosial. 

Tanpa bertemu muka, kualitas seseorang amat mungkin terkamuflase. Orang bisa "mendadak pintar" karena mudahnya mendapatkan informasi dari internet. Meski kadang hal itu justru dapat membuatnya terlihat bodoh karena salah atau tak utuh dalam mengambil informasi. 

Menurut ahli psikologi berkebangsaan Austria, Alfred Adler, seseorang pada dasarnya memiliki keinginan untuk menjadi superior. Seseorang yang gagal mencapai superioritas dapat merubah caranya dalam berjuang dengan cara yang baik menjadi dengan menghalalkan segala cara. 

Termasuk di dalamnya menghancurkan reputasi orang lain agar terlihat lebih baik. Bisa dengan jalan menghina secara pribadi, memperolok perbuatan sampai dengan menyebarkan berita-berita bohong. Di sinilah seseorang terjebak dalam hal yang diistilahkan sebagai superiority complex. 

Lucunya, kadang kejadian selanjutnya justru menampar balik si pelaku sendiri. 

Seperti yang baru-baru ini terjadi, ada pihak yang menuding penyusunan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terkesan terburu-buru. Padahal proyek Indonesianisasi hukum kolonial itu sudah dirintis sejak 1963. 

Atau mereka yang membuat meme atau olokan mengenai unggas dalam RKUHP, justru tak sadar bahwa aturan itu sudah ada sebelumnya dalam KUHP yang ada. Tak beda dengan pasal "perkosaan terhadap istri". 

Aturan itu sebenarnya sudah ditetapkan dalam UU No 23 / 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dan kasusnya pun sudah ada dan masuk ke ranah hukum pidana. 

Atau peristiwa lain yang lebih lama, yang menjadi contoh betapa absurdnya fanatisme dalam berpolitik. Yakni ada suatu golongan yang memperolok satu pihak yang menjadi lawan politiknya karena dianggap tak fasih dalam beribadah, namun ternyata fakta serupa ditemukan juga pada tokoh yang dibangga-banggakannya. 

Mengkritik boleh. Tapi tak harus dibarengi dengan sikap merendahkan individu lainnya juga kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun