Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gempa, Sopir Bus, dan Spiritualisme

2 Agustus 2019   21:48 Diperbarui: 3 Agustus 2019   16:54 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga jam lalu, saya masih duduk di ruangan bersama rekan-rekan kerja di kantor. Seperti biasa, saban malam Sabtu kami lembur untuk menyelesaikan outstanding pekerjaan selama sepekan. Closing, itu istilah kami. Biasanya, kerjaan selesai sekitar pukul 8 atau 9 malam. 

Malam ini, seperti yang rekan-rekan Kompasianer saksikan dan baca di berita, Jakarta terkena imbas dari gempa bumi yang terjadi di Banten. Berdasarkan data BMKG, gempa berpusat di 147 km Barat Daya Sumur-Banten, dengan kedalaman 10 Km, pada pukul 19:03:21 WIB. Kami pun merasakan guncangan itu di ketinggian sekian ratus meter dari permukaan tanah. Yak, kantor yang saya tempati berada di lantai 53 di pusat ibu kota.

Mulai detik pertama, kami masih bertanya-tanya apakah goncangan itu gempa atau karena efek seseorang yang berjalan atau berlari. Kadang rekan kami yang overweight dapat pula mengakibatkan goncangan lokal karena kakinya yang menapak keras di atas lantai. Namun saat itu tak ada yang berlari dan rekanku yang overweight itu duduk manis di kursinya. Sejurus kemudian ada yang menyeletuk, "Gempa!". Dan kepanikan pun mulai menyeruak.

Ada di antara kami yang mulai ber-istighfar, ada yang kirim pesan ke keluarganya --termasuk saya--, ada pula yang sempat merekam apa yang tengah dialaminya. Dan satu lagi, ada yang menangis pun. Kata si rekan yang dokumenter sesaat tadi, gempa yang terjadi paling tidak berdurasi 3 menitan. Cukup lama untuk sebuah momen menegangkan di ketinggian 53 lantai dari atas aspal Jl. Sudirman.

Rekan lain yang seorang floor warden (penanggung jawab HSE kantor) berjalan ke ruang depan. Kurang dari 2 menit kemudian, terdengar dia berkata, "Kita mulai evakuasi ya."Kami pun berkemas untuk bergerak menuju lobby. "Jangan panik, jalannya tenang saja. Jangan berebutan," kata sang floor warden lagi.

Kejadian ini adalah gempa ke dua yang saya alami selama bekerja di kantor ini. Seingat saya, gempa sebelumnya terjadi kira-kira setahun lalu. Gempa saat itu terjadi pada siang hari. Dan durasinya tak selama malam ini, meski sama-sama membuat seluruh penghuni kantor dievakuasi. Baru sebulan lalu kami latihan fire drill (evakuasi karena kebakaran), kini bencana sebenarnya datang meski dalam format lain. 

Apa yang kami pikirkan selama gempa itu adalah pikiran buruk, namun menghasilkan perbuatan baik. Persis seperti cerita tentang sopir bus ugal-ugalan yang membuat para penumpangnya sigap mengingat Tuhan melalui ratapan dan doanya. Saat terdesak, manusia kerap ingat pada penciptanya. Sebuah dzat yang menjadikan segala sesuatu terjadi atau sebaliknya, membatalkannya. 

Tuhanlah yang menitahkan bumi ini untuk bergoyang dengan segala sebab yang menjadikannya ilmiah saat ditinjau ilmu pengetahuan. Tuhan pula yang kita rayu untuk menghentikan segala wujud kejadian yang membuat kita takut, kuatir akan segala hal buruk yang akan menimpa diri kita dan orang yang kita sayangi. Tuhan pula yang meneguhkan hati seseorang saat menghadapi mara bahaya yang mengintai. 

Jika ketakutan masih menjadi sebab bagi kita untuk mengingat Tuhan lebih dalam, mungkin kiranya kita perlu mengoreksi diri. Sebenarnya, kita ini manusia yang lebih sering mengingat Tuhan ataukah melupakannya? 

Selepas itu, mari coba berpikir, seberapa tebal keimanan kita jikalau ketulusan kita dalam mengingat eksistensi dan kekuasaan-Nya hanya terjadi saat kita diperingatkan oleh-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun