Tahun lalu, 90 hari sebelum hari H, tepatnya pukul 00.00 malam, saya sudah berjibaku untuk memperebutkan tiket kereta api melalui situs online PT. Kereta Api Indonesia (KAI). Entah berebut dengan berapa ribu orang, namun yang pasti tiket tujuan Yogya atau Solo tujuan saya sudah ludes sekitar 10 menit semenjak penjualan dibuka pukul 00.00 WIB.
De Javu
Lebaran tahun ini, terpaksa saya dan keluarga kecil tak pulang kampung seperti biasanya. Dengan pertimbangan usia anak ke dua yang masih beberapa bulan, saya putuskan untuk menunda kepulangan dalam beberapa bulan ke depan. Apalagi 2 bulan lalu orang tua sudah datang dari Jawa Tengah untuk menengok cucu ke limanya.Â
Tentu berbeda rasanya jika saat lebaran tiba, kita tak bertemu keluarga dan sanak famili di kampung halaman. Hal itu yang akan membuat Ied tahun ini jadi agak kurang sesuatu.
Dulu, telinga saya sempat akrab dengan lagu-lagu campursari Didi Kempot. Salah satu lagunya yang terkenal adalah Stasiun Balapan, yang mungkin juga akrab di telinga pembaca.Â
Lagu lain yang saya kenal berjudul Tulisan Tangan yang bertutur tentang seseorang yang terpaksa tak pulang kampung saat lebaran karena masalah finansial. Trenyuh benar liriknya. Apalagi dinikmati sembari membayangkan wajah orang tua terutama bunda tercinta.
Dan kini, mesti sebabnya tak sama, saya mengalami hal serupa, tak berlebaran di kampung halaman. Seperti de javu saja.
Tradisi Silaturahmi dan Bid'ah Lebaran
Bersilaturahmi saat Idul Fitri atau yang lazim disebut halal bi halal sudah menjadi budaya di negeri ini dan menjadi bagian tak terpisahkan dari umat Islam di Indonesia. Dengan kata lain, halal bi halal adalah salah satu contoh dari pengejawantahan Islam Nusantara di mana nilai-nilai keislaman berakulturasi sedemikian rupa sehingga mewujud dalam tradisi masyarakat.
Saat kecil, saya dan teman sebaya biasanya berkeliling mengunjungi rumah orang-orang yang dituakan di kampung. Kegiatan itu dilakukan selepas selesai bersilaturahmi dengan keluarga besar yang dilakukan bersama orang tua. Setelah kakek meninggal, rutinitas yang dilakukan selepas shalat Ied adalah menziarahi makamnya lengkap dengan prosesi tahlil di makam tersebut.
Sebagian muslim tanah air menggarisbawahi kegiatan tersebut (halal bi halal dan tahlilan) sebagai  aktivitas terlarang yang tak memiliki dalil naqli. Mereka beralasan bahwa mengkhususkan sebuah peribadatan memerlukan dalil dan halal bi halal serta tahlilan tak memenuhi persyaratan tersebut hingga akhirnya aktivitas tersebut dikatagorikan sebagai "syarrul umuri", seburuk-buruk perkara.
Hal yang sama menimpa tradisi muslim yang lebih world wide yang artinya tidak hanya dijumpai di Indonesia saja seperti maulid Nabi, tawassul dan tabarruk ke makam para waliyullah dan masih banyak hal lainnya.
Tapi biarkan saja, mereka memang seperti itu. Yakin saja sudah ada studi kasus mengenai hal itu. Dan boleh juga meyakini bahwa kasus-kasus seperti itu tak akan menemukan 1 titik temu. Jadi dinikmati saja.
Perantau Tak Pulang Kampung, Banyak Yang Terlewatkan
Bagi para perantau, bertemu dengan anggota keluarga lain tak selalu menjadi hal yang sederhana. Sebagaimana yang dikatakan oleh mas Didi Kempot dalam lagu di atas, pulang kampung pasti membutuhkan biaya meski ditempuh dengan naik motor sekalipun.Â
Belum lagi masalah waktu. Para perantau yang berprofesi sebagai karyawan, momen lebaran adalah waktu yang pas untuk pulang kampung karena durasi liburnya yang representatip. Kesempatan yang belum tentu ditemukan pada momen lain. Faktor ini yang menjadikan silaturahmi dikhususkan pada saat lebaran oleh banyak orang. Bukan berarti menunda permintaan maaf saat ada kesalahan.
Tak mengkhususkan lebaran untuk bersilaturahmi akan membuat kita kehilangan kesempatan bersilaturahmi dengan banyak orang yang sengaja atau tak sengaja telah mengkhususkan saat lebaran untuk tujuan itu.Â
Bisa jadi teman-teman kita saat kecil, sekolah atau kuliah saat ini sudah bekerja di luar kota yang membuatnya hanya punya waktu saat cuti lebaran, atau bisa jadi paman - bibi kita yang berada di kota lain juga hanya punya waktu berkumpul saat anak-anaknya berlibur lebaran atau kejadian-kejadian serupa yang lain.
Ibu pernah bercerita, dulu saat saudara-saudara kakek masih ada, silaturahmi dengan sanak famili bisa memakan waktu sepekan. Saking banyaknya yang dikunjungi. Namun kini paling sehari atau dua hari saja.Â
Hilangnya generasi tua yang tak diiringi oleh upaya generasi di bawahnya untuk menjalin silaturahmi sebagaimana saat orang-orang tua mereka masih ada akan membuat jalinan persaudaraan lemah karena mereka yang sejatinya bersaudara namun terpisah tempat akan tak mengenal satu sama lain. Dan ini tak baik.
Jadi mari bijak dalam menyikapi silaturahmi saat lebaran yang sudah membudaya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H