Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Lebaran: Tak Pulang Kampung, Silaturahim dan Bid'ah Lebaran

26 Mei 2019   07:26 Diperbarui: 22 Mei 2020   09:05 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lebaran | Foto www.suratkabar.id

Sebagian muslim tanah air menggarisbawahi kegiatan tersebut (halal bi halal dan tahlilan) sebagai  aktivitas terlarang yang tak memiliki dalil naqli. Mereka beralasan bahwa mengkhususkan sebuah peribadatan memerlukan dalil dan halal bi halal serta tahlilan tak memenuhi persyaratan tersebut hingga akhirnya aktivitas tersebut dikatagorikan sebagai "syarrul umuri", seburuk-buruk perkara.

Hal yang sama menimpa tradisi muslim yang lebih world wide yang artinya tidak hanya dijumpai di Indonesia saja seperti maulid Nabi, tawassul dan tabarruk ke makam para waliyullah dan masih banyak hal lainnya.

Tapi biarkan saja, mereka memang seperti itu. Yakin saja sudah ada studi kasus mengenai hal itu. Dan boleh juga meyakini bahwa kasus-kasus seperti itu tak akan menemukan 1 titik temu. Jadi dinikmati saja.

Perantau Tak Pulang Kampung, Banyak Yang Terlewatkan

Bagi para perantau, bertemu dengan anggota keluarga lain tak selalu menjadi hal yang sederhana. Sebagaimana yang dikatakan oleh mas Didi Kempot dalam lagu di atas, pulang kampung pasti membutuhkan biaya meski ditempuh dengan naik motor sekalipun. 

Belum lagi masalah waktu. Para perantau yang berprofesi sebagai karyawan, momen lebaran adalah waktu yang pas untuk pulang kampung karena durasi liburnya yang representatip. Kesempatan yang belum tentu ditemukan pada momen lain. Faktor ini yang menjadikan silaturahmi dikhususkan pada saat lebaran oleh banyak orang. Bukan berarti menunda permintaan maaf saat ada kesalahan.

Tak mengkhususkan lebaran untuk bersilaturahmi akan membuat kita kehilangan kesempatan bersilaturahmi dengan banyak orang yang sengaja atau tak sengaja telah mengkhususkan saat lebaran untuk tujuan itu. 

Bisa jadi teman-teman kita saat kecil, sekolah atau kuliah saat ini sudah bekerja di luar kota yang membuatnya hanya punya waktu saat cuti lebaran, atau bisa jadi paman - bibi kita yang berada di kota lain juga hanya punya waktu berkumpul saat anak-anaknya berlibur lebaran atau kejadian-kejadian serupa yang lain.

Ibu pernah bercerita, dulu saat saudara-saudara kakek masih ada, silaturahmi dengan sanak famili bisa memakan waktu sepekan. Saking banyaknya yang dikunjungi. Namun kini paling sehari atau dua hari saja. 

Hilangnya generasi tua yang tak diiringi oleh upaya generasi di bawahnya untuk menjalin silaturahmi sebagaimana saat orang-orang tua mereka masih ada akan membuat jalinan persaudaraan lemah karena mereka yang sejatinya bersaudara namun terpisah tempat akan tak mengenal satu sama lain. Dan ini tak baik.

Jadi mari bijak dalam menyikapi silaturahmi saat lebaran yang sudah membudaya ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun