Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Balap Artikel Utama

"The Magnificent Schwantz"

25 Mei 2019   10:42 Diperbarui: 29 Mei 2019   13:14 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kevin Schwantz | Foto visordown.com

Kevin James Schwantz, sebuah nama yang tak asing lagi di kancah balap motor kelas dunia, motograndprix. Bertarung di kelas 500 cc sebagai kelas utama, Schwantz mencatatkan diri sebagai seorang pebalap fenomenal yang meski hanya sekali meraih titel juara dunia, namanya ditetapkan Dorna --selaku promotor MotoGP-- sebagai legenda grand prix motor. 

Memulai debutnya di tahun 1988, Schwantz meraih titel sebagai juara dunia pada tahun 1993 bersama pabrikan Jepang, Suzuki. Beberapa tahun keberadaanya di GP 500, tersaji sebuah rivalitas diantara persahabatan antara dia dan rekan senegaranya yang bertarung di bawah bendera Yamaha, Wayne Rainey.

Dari Motocross ke Road Race
Kevin lahir di tengah keluarga yang menjadikan motor sebagai bagian dari hidupnya. Ayahnya memiliki sebuah dealer motor di tempat kelahirannya, Houston Texas, sedangkan pamannya, Darryl Hurst adalah seorang atlet dirt track tingkat nasional.

Darryl Hurst berkompetisi di kejuaraan Dirt Track. Schwantz menggunakan nomer sang paman termasuk saat membalap di GP 500 | Foto. www.kevinschwantz.com
Darryl Hurst berkompetisi di kejuaraan Dirt Track. Schwantz menggunakan nomer sang paman termasuk saat membalap di GP 500 | Foto. www.kevinschwantz.com
Mengikuti jejak sang paman, Schwantz beberapa kali terjun dalam kompetisi amatir pada event-event dirt track hingga motocross di Texas. Namun cidera menghampiri dan membuatnya berhenti dari balap motocross. Namun minatnya di dunia motor tak benar-benar hilang.

Schwantz pun mulai melirik balap jalan dan mengikuti balap ketahanan / endurance. Talenta membalapnya di atas motor balap produksi massal membuat tim Yoshimura Suzuki Superbike tertarik dan berminat mengetesnya di penghujung musim 1984. Dan hasilnya positip, musim 1985 the Texan Lion resmi mengisi line up pembalap untuk kompetisi yang diikuti oleh Yoshimura Suzuki yakni Daytona 200 dan West Coast.

Schwantz membuktikan kemampuannya di depan khalayak setahun kemudian. Di kejuaraan Daytona 200, dengan paket GSXR 750 yang dimiliki Suzuki, Schwantz berhasil menempatkan diri di posisi ke-2 pada awal musim menguntit penguasa podium, Eddy Lawson yang mengendarai Yamaha. Namun nahas, cidera yang menimpa membuatnya harus absen selama 3 seri dari total 8 seri yang harus diikuti. Di akhir musim, Schwantz hanya mampu menduduki posisi ke-7.

Tahun 1987, kejuaraan AMA Superbike menyuguhkan ketatnya persaingan antara Kevin Schwantz dan Wayne Rainey yang nantinya akan berlanjut di GP 500. Saat itu Rainey membalap untuk Honda dan berhasil menjuarai kompetisi. 

Sedangkan Schwantz sudah mulai membalap di GP 500 dalam beberapa seri di tahun 1986 dan 1987 yang membawanya ke peringkat ke 22 (1986) dan 16 (1987).

Menjadi Pebalap Full Time di GP 500
Ingin membawa talenta Schwantz ke ajang yang lebih mendunia, Pepsi Suzuki menyodorkan kontrak untuk membalap di GP 500 secara penuh di tahun 1988. Pada tahun itu juga, Wayne Rainey memulai karirnya di GP 500 dengan bergabung di tim yang dikelola juara dunia GP 500, Kenny Roberts yakni Lucky Strike Yamaha Roberts.

Kevin Schwantz (34) vs Wayne Rainey di sirkuit Suzuka Jepang 1989 | Foto. Facebook Bike 70
Kevin Schwantz (34) vs Wayne Rainey di sirkuit Suzuka Jepang 1989 | Foto. Facebook Bike 70
Di seri perdana Suzuka Jepang, the Texan Lion langsung menggebrak dengan menyabet podium pertama mengungguli pebalap Honda, Wayne Gardner dan saingannya semasa di Daytona 200, Eddy Lawson yang masih menggeber Honda.

Karena sering tak dapat melanjutkan lomba karena jatuh -- 5 kali crash dalam 15 seri --, Schwantz harus puas menghuni tempat ke-8 klasemen akhir sementara Rainey sukses berada di posisi ke-3. 

Prestasi Rainey meningkat setahun kemudian dengan menduduki posisi ke-2 dan berlanjut di tahun 1990 saat dia berhasil mengeklaim gelar juara dunia. Gelar itu dipertahankannya selama 3 tahun berturut-turut hingga 1992 sebagaimana bos tim, Kenny Roberts yang mampu menguasai GP500 dari 1978 hingga 1980.

Dalam kurun waktu 3 tahun itu (1990-1992), Kevin Schwantz berlalu lalang di posisi ke-2, 3 dan 4 klasemen akhir. Hingga akhirnya dapat merebut gelar dari tangan Rainey pada 1993.

Meski saling berupaya mengalahkan satu sama lain, Schwantz dan Rainey tak terlalu terpengaruh suhu panas kompetisi. 

Rainey & Schwantz | Foto motorsport.id
Rainey & Schwantz | Foto motorsport.id
Suzuki RGV 500
Meski diciptakan untuk menandingi Honda NSR 500 dan Yamaha YZR 500, Suzuki RGV 500 tak benar-benar unggul dari 2 kompetitornya itu, tepatnya pada kemampuannya saat menempuh trek lurus. Sehingga para pebalap Suzuki harus menggali potensi mereka untuk melampaui laju para pebalap Honda dan Yamaha.

Termasuk Schwantz yang selalu memaksa RGV 500 sampai pada batasnya yang justru membuatnya kerap jatuh. Untuk menetralisir kekurangan motornya, Schwantz menggunakan teknik balap yang di sebutnya dengan istilah "See God, then brake". Kemampuan pebalap di sektor tikungan menjadi kunci untuk dapat mencuri posisi dengan mengandalkan kemampuan pengereman/late braking.

Tak semua pebalap Suzuki dapat beradaptasi dengan gaya balap seperti itu. Salah satu yang berhasil adalah pebalap Australia, Darryl Beattie yang menjadi rekan setim Kevin Schwantz pada 1995 di Lucky Strike Suzuki. Di tahun itu pulalah dia menjadi runner up sementara Michael Doohan mengunci gelar juara dunianya.

Darryl Beattie & Michael Doohan | Foto pinterest.com
Darryl Beattie & Michael Doohan | Foto pinterest.com
Akhir Karir the Texan Lion
Banyaknya cidera yang dialami memaksa Schwantz mengakhiri karirnya di GP 500. Musim 1995 menjadi musim terakhirnya membalap di kejuaraan motor prototype

Ada hal lain yang mempengaruhi keputusannya itu selain alasan medis. Mundurnya Wayne Rainey akibat kecelakaan di 3 seri sebelum berakhirnya musim 1993 membuatnya merasa kehilangan motivasi. Ya, seri Misano 1993 adalah seri yang merenggut kemampuan Wayne Rainey untuk kembali membalap karena kecelakaan itu membuat kakinya lumpuh.

"Wayne Rainey mengalami kecelakaan di tahun 1993 dan saya memenangkan Kejuaraan Dunia di tahun itu, perasaan yang muncul sangat kuat untuk menjalani sisa musim,”ungkapnya melalui sebuah video yang diunggah oleh situs resmi MotoGP, motogp.com.

"Tetapi saya mencoba untuk memotivasi diri saya di tahun 1994, karena setiap pekan performa saya berdasarkan dimana dia berada,"imbuhnya.

Kevin Schwantz bahkan tak menyelesaikan keseluruhan seri di musim 1995. Dia hanya mengikuti 3 seri yakni seri Autralia, Malaysia dan Jepang yang membuatnya jatuh ke posisi 15 klasemen akhir.

Meski begitu, bendera Lucky Strike Suzuki masih berkibar di posisi ke-2 berkat peran Darryl Beattie.

Pada tahun 2000, saat Suzuki kembali mengeklaim gelar juara dunia melalui Kenny Roberts, Jr, gelar legenda Motograndprix disematkan ke pebalap asal Texas itu.

Ada yang berpikir bahwa gelar juara Schwantz didapat lebih kepada faktor keberuntungan yakni karena tersingkirnya Wayne Rainey di penghujung musim 1993. Namun absennya Rainey tak berarti mengecilkan kemampuan Schwantz dalam menggunakan mesin yang tak semumpuni para kompetitor untuk mengalahnya para petarung mereka.

Kevin Schwantz | Foto visordown.com
Kevin Schwantz | Foto visordown.com
Baca juga artikel terkait:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Balap Selengkapnya
Lihat Balap Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun