Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

NU, Terbelah karena Politik?

19 Mei 2019   07:29 Diperbarui: 19 Mei 2019   17:24 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua kontestan Muktamar NU Jombang / Dok. Viva.co.id

"Ya, kita akan menghadang kalau ada orang datang ke Jakarta, kita siapkan juga people power Banser. Bersama TNI dan Polri kita hadang," kata Ketua GP Ansor DKI Jakarta, Abdul Aziz sebagaimana dikutip Poskota News (14/5), saat menanggapi akan adanya people power yang bermetamorfosis istilah menjadi gerakan kedaulatan rakyat.

Dikatakannya, GP Ansor akan mengerahkan 1000 Banser untuk membantu TNI dan Polri menjaga KPU sekaligus mengamankan KH. Ma'ruf Amin dengan long march dari kantor PBNU ke kantor KPU pada 22 Mei mendatang.

Tanggapan muncul dari H. Agus Solachul A'am Wahib, Ketua Barisan Kiai dan Santri Nahdliyin (BKSN) yang juga cucu pendiri NU, KH. Abdulwahhab Chasbullah. Dia meminta kepada GP Ansor dan Banser tidak menggunakan institusi untuk menghadapi gerakan kedaulatan rakyat. Apalagi menyebutnya makar.

"Menurut hemat saya, sahabat-sahabat Ansor seperti Gus Abdul Aziz masih gagal paham tentang apa itu makar dalam pengertian Gerakan Kedaulatan Rakyat," katanya sebagaimana dikutip Duta.co (17/5)

Partai Nahdlatul Ulama

NU yang didirikan oleh Hadratusysyaikh Muhammad Hasyim Asy'ari pada 1926 adalah sebuah organisasi bersifat kemasyarakatan yang menaungi muslim ahlussunnah wal jama'ah Indonesia. 

Ormas ini berdiri dengan latar belakang upaya untuk memberikan counter terhadap gerakan Wahhabi yang menjadi paham dari para pemrakarsa berdirinya wilayah yang semula berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani, Saudi Arabia.

Baca juga :  GP Ansor: FPI Harus Bubar Jika...

Murid Syekh Hasyim Asy'ari yang sekaligus salah satu pendiri NU, KH. Abdulwahhab Chasbullah adalah salah satu utusan NU dalam menyampaikan beberapa poin aspirasi umat Islam sunni terutama di Jawa kepada raja Saudi, Abdul Aziz bin Saud. 

Selepas Syekh Hasyim Asy'ari yang menjabat sebagai Rais Akbar meninggal dunia, NU mengangkat KH. Abdulwahhab Chasbullah sebagai pengganti. Kiai Wahab adalah seorang pakar ushul fiqih yang memiliki semangat progresip dalam berorganisasi. 

Hal itu dibuktikan melalui aktivitas beliau dalam memprakarsai berdirinya beberapa perkumpulan sebelum berdirinya NU. Sebutlah diantaranya Nahdlatul Wathan, Tashwirul Afkar dan organisasi kepemudaan yang menjadi garda kepemudaan NU, GP Ansor.

Sebelum masa kepemimpinannya, NU adalah salah satu pendukung organisasi politik umat Islam, Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). 

Namun karena beberapa faktor, diantaranya kurangnya respon elit Masyumi terhadap peran para kiai dan aspirasi pesantren serta makin membesarnya sentimen Islam modernis dan Islam tradisionalis (NU masuk golongan ini), akhirnya ijtihad politik para kiai NU terutama Kiai Wahab memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan membentuk partai politik sendiri. Sehingga lahirlah partainya nahdliyyin, Partai NU.

Pada pemilu pertama yang diikutinya (1955), perolehan suara NU berada di peringkat ke-3 setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi serta setingkat di atas Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada Pemilu 1971, NU menguntit Golkar yang berada di posisi pertama.

Baca juga : Partai NU, Partai Muhammadiyah, dan "Gething Nyandhing" dalam Politik

Fusi partai yang digaungkan oleh Orde Baru membuat NU melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada 1977, PPP menjadi partai ke dua setelah Golkar dan mengungguli Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari PNI, Partai Murba, IPKI, Parkindo dan Partai Katolik. Hasil itu tak mengalami perubahan pada pemilu selanjutnya yang diadakan pada 1982.

Pemilu 1982 adalah pesta demokrasi terakhir yang dilalui NU sebagai partai politik. Karena pada 1984, NU menyatakan kembali ke jatidirinya sebagai organisasi kemasyarakatan yang tak menjalankan politik praktis atau dikenal dengan khittah 1926. Salah satu figur sentral dalam kembalinya NU ke khittah itu adalah cucu pendiri NU, KH. Abdurrahman Wahid/Gus Dur.

Kebangkitan Partai NU

Pada era reformasi, Gus Dur membidani lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski bukan satu-satu partai yang dibentuk untuk mewadahi aspirasi nahdliyyin, hingga kini PKB adalah partai terbesar warga NU dan dianggap representasi dari NU dan berpolitik. 

PKB menjadi jalan tengah bagi penyaluran politik warga NU dengan tak mengutak-atik lagi khittah NU. Sehingga PBNU sebagai induk kepengurusan NU tak terbebani dengan agenda-agenda politik warganya.

Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar / Dok.Rmol.com
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar / Dok.Rmol.com

Dinamika PKB diwarnai oleh pertikaian antara Gus Dur dengan pengurus PKB sendiri. Yang pertama ialah perselisihan Gus Dur dengan Matori Abdul Jalil yang kala itu menjadi Wakil Ketua MPR yang mendukung pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan, kemudian dengan Alwi Syihab dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul) yang dimasukkan Megawati ke dalam kabinetnya serta yang terakhir melawan Muhaimin Iskandar. 

Dari ketiga konflik itu, Muhaiminlah lawan paling alot Gus Dur hingga akhirnya justru Gus Dur lah yang tersingkir dari PKB karena negara memenangkan PKB kubu Muhaimin.

Pemilu tahun 2009 menjadi pemilu dengan hasil terburuk bagi PKB. Dengan perolehan 4,94%, PKB terjun bebas dari peringkat ke-3 di tahun 2004 menjadi partai nomer 7 di 2009. Namun berkat kelihaian Muhaimin, PKB bangkit di tahun 2014 dengan meraup 9,04% suara. Dan menurut hasil real count sementara, saat ini PKB memperoleh 9,13 % suara.

Pemilu 2019, Politisasi NU?

"Kita tahu marwah parpol saat ini sangat rendah. Persatuan Indonesia tergantung pada Ormas-ormas. Yang paling besar adalah NU dan Muhamamdiyah," ungkap Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Salahuddin Wahid atau Gus Solah saat menghadiri halaqah ke-7 Komite Khittah NU 1926 (KKNU26) yang diadakan di Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta Selatan pada 30 Maret lalu.

Baca juga : Aksi Bela Negeri di Tengah Upaya Rekonsiliasi

"Kalau NU berubah menjadi parpol berbaju ormas, atau ormas rasa parpol, maka paradigma NU bukan paradigma ormas tapi paradigma parpol," lanjutnya sebagaima dilansir Tebuireng Online.

Komite khittah NU merupakan bentukan para dzurriyat (keturunan) pendiri NU dan beberapa kiai di Jawa Timur yang memandang PBNU kini telah ditunggangi oleh agenda politik para politisi NU sendiri. Komite itu diumumkan pada Nopember 2018 di Pesantren Hasbullah Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang dan mengangkat adik Gus Dur itu sebagai ketua.

Kekhawatiran terhadap adanya politisasi NU itu sempat mengemuka pada Muktamar NU ke-33 di Jombang 2015 lalu. Hal itu diungkapkan oleh Gus Solah yang merupakan salah satu nama yang masuk sebagai kandidat ketua tanfidziyah (ketua umum) PBNU disamping KH. Said Aqil Siradj yang akhirnya menjabat untuk ke dua kalinya.

Dua kontestan Muktamar NU Jombang / Dok. Viva.co.id
Dua kontestan Muktamar NU Jombang / Dok. Viva.co.id

Kekhawatiran Gus Solah saat itu langsung ditepis oleh Gus Ipul yang menyatakan bahwa muktamar bersifat terbuka terhadap partisipasi siapa saja termasuk partai politik

Dalam perjalanannya, dugaan politisasi NU muncul saat Ketua PBNU, Robikin Emhas, menyatakan bahwa NU tidak memiliki tanggung jawab moral untuk memenangkan Jokowi jika calon wakil presidennya bukan dari kalangan NU. 

Pernyataan itu muncul selepas adanya pertemuan pejabat PBNU diantaranya KH. Ma'ruf Amin (masih menjabat Rais Am), Ketum PBNU KH. Said Aqil Siradj dan Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini dengan Muhaimin Iskandar.

Akhirnya Jokowi memutuskan untuk menggandeng Rais Am PBNU, KH. ma'ruf Amin untuk mendampinginya dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2019. Bisa jadi hal itu dilakukannya untuk menjaga soliditas dukungan parpol berbasis massa NU, PKB dan PPP yang berada di kubunya sekaligus sebagai upaya untuk mendapatkan dukungan nahdliyyin secara lebih luas.

Dalam sebuah kesempatan, KH. Ma'ruf Amin menyatakan bahwa hendaknya NU berjuang habis-habisan mendukung Jokowi sehubungan dengan statusnya sebagai seorang sesepuh NU. Hal inilah yang menjadikan sebagian orang NU menganggap NU telah terlalu dalam masuk ke ranah politik praktis.

Pilih Prabowo, Selamatkan NU

Warga NU yang memiliki kebebasan dalam menentukan arah politiknya menjadikan Jokowi dan Prabowo bebas dalam upaya mendulang suara. Dan pada kenyataannya, deklarasi dukungan elemen NU terhadap keduanya silih berganti.

Tokoh Cak Anam dan KH. Imron Rosyadi mendampingi Prabowo / Dok. Duta.co
Tokoh Cak Anam dan KH. Imron Rosyadi mendampingi Prabowo / Dok. Duta.co

Dan salah satu hal yang menjadikan nahdliyyin tidak menjatuhkan pilihannya kepada Kiai Ma'ruf Amin adalah alasan untuk menyelamatkan NU dari penyanderaan politik praktis. Hal itu diungkapkan Ketua Barisan Kiai dan Santri Nahdliyin (BKSN) H. Agus Solachul A’am Wahib saat hadir di acara bedah buku “NU Menjadi Tumbal Kekuasaan, Siapa Bertanggungjawab?” pada 26 Pebruari 2019 di Graha Astranawa, Surabaya sebagaimana dilansir Duta.co. Dengan tidak terpilihnya Jokowi sebagai presiden, diharapkan manuver politik elit struktural NU bisa diredakan.

Sementara itu, tanggapan mengenai upaya menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB) yang digagas Komisi Khittah 1926 ditanggapi oleh keluarga Gus Dur yang kerap direpresentasikan sebagai pendukung Jokowi, sebagaimana Muhaimin yang pernah berseberangan dengan Gus Dur.

Baca juga : NU yang Lurus Itu yang Dukung Prabowo, Gitu?

Putri sulung Gus Dur, Allisa Wahid, menyarankan agar Komite Khittah NU menunggu saja muktamar NU yang akan dihelat pada 2020. Di sana, mereka bisa memperjuangkan aspirasinya lewat mekanisme yang sudah menjadi adat di internal NU.

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai orientasi politik itu, upaya untuk meredam gejolak akar rumput NU telah diupayakan oleh para sesepuh NU. 

Diawali dengan berkumpulnya para kiai NU dari ke dua kubu di kediaman Ketua PBNU, Gus Ipul dalam upaya rekonsiliasi agar perbedaan selama masa kampanye tidak berlarut-larut hingga melebihi batas. Dan hal itu akan ditularkan ke segmen masyarakat bawah yang merupakan "konstituen" para kiai dan sesepuh pondok pesantren itu.

Bagaimanapun juga NU itu wadahnya persamaan yang terbiasa dengan perbedaan. Namun meski berbeda, mudah saja menyatukan warga NU, yakni dengan maulid, istighotsah atau tahlilan. Gampang to..

Istighotsah warga NU di Gelora Delta Sidoarjo, Ahad (28/10/2018) / Dok. Nu Online
Istighotsah warga NU di Gelora Delta Sidoarjo, Ahad (28/10/2018) / Dok. Nu Online

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun