Bagi seorang lelaki single berusia 30 tahunan seperti saya (dulu), ada 2 hal yang mendominasi pikiran. Pertama sebuah motor sport bak tunggangan Valentino Rossi atau Marc Marquez dan yang ke dua.. jodoh. Namun saya tak ingat apakah urutan penyebutan 2 hal tadi sesuai dengan skala prioritas atau tidak. Kenyataannya, saya baru mendapatkan jodoh setelah sekian kali melakukan eksperiman dan operasi plastik terhadap tunggangan saya.
Ternyata benar adanya bahwa hobi itu tak mengenal batasan, baik batasan usia, waktu ataupun finansial. Maka dari itu, kadang kita bisa jumpai seseorang yang sudah menginjak umur 40 tahunan tapi masih gemar mengumpulkan miniatur mobil atau boneka Superman.Â
Atau bagi seseorang yang hobi membaca, saat membonceng seorang pengojek yang mengantarnya ke kantor pun dilakukannya sambil membaca sebuah novel. Bisa jadi suatu saat kita pun mendapati seseorang yang mau dan mampu mengeluarkan uang berjuta-juta untuk sebuah perangko atau uang yang sudah habis masa berlakunya.Â
Itulah hobi, yang hanya bisa diukur oleh hati.
Saya sendiri mulai serius dalam dunia modifikasi motor setelah 6 tahun bekerja. Dengan uang sendiri, maka semuanya terasa lebih bebas tanpa membebani siapa pun.Â
Bermodal sebuah motor standar keluaran tahun 2001, saya pun menyambangi sebuah bengkel modif terkenal di kota Solo, dekat kampus UNS tepatnya. Di bengkel itu, para konsumen disuguhi berbagai macam barang after market yang siap dipasang baik secara bolt on ke motor maupun yang memerlukan modifikasi oleh bengkel.
Dan motor saya adalah salah satu komoditas modifikasi yang tergolong mayor atau banyak mengalami perubahan dari aslinya. Karena saya lagi menggandrungi balap MotoGP maka pilihan modif pun terjatuh pada model motor sport full fairing ala MotoGP atau superbike.
Lebih dari sebulan motor saya dipermak di bengkel itu. Dan setelah jadi, ternyata saya kesulitan mengendarainya (sigh). Apa pasal?
Karena model motor full fairing yang saya bayangkan saat ngobrol dengan sang pemilik bengkel pada kenyataannya mengorbankan kenyamanan berkendara yakni keterbatasan radius putar stang.
Di sini lah saya kebobolan. Dari yang cuma ingin memperbaiki handling motor, akhirnya merembet ke hal-hal yang lain. Mulailah motor saya jejali dengan part-part eks motor sport ber-cc kecil yang pastinya lebih mahal dari barang after market. Kaum penyuka modif, biasa menyebutnya limbah motor gede.
Sayang seribu sayang, di bengkel ke-2 itu pun tak kunjung puas hati saya. Akhirnya, motor harus dibedah di sebuah bengkel di kisaran Jl. Kaliurang, Yogya. Itupun setelah saya berkonsultasi dengan kenalan yang wartawan lepas sebuah tabloid khusus motor.
Di bengkel ke-3 inilah pengembaraan berakhir. Setelah sekian bulan, motor saya pun selesai dipermak. Dan yang bikin happy, dia sempat mejeng di sebuah tabloid motor.
Dan dalam kasus ini, porsi ke dua rupanya lebih besar. Terlebih saat mengetahui fakta bahwa keseluruhan biaya modifikasi yang saya telah keluarkan, ternyata cukup untuk mengandangkan sebuah motor sport sungguhan yang masih jarang ada di jalanan hingga kini. Seeb..naseeeeb.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H