Pada Jumat lalu (19/4), para kiai dan beberapa pengasuh pondok pesantren NU di Jawa Timur berkumpul di kediaman Ketua PBNU yang juga mantan wakil gubernur Jawa Timur, Saifullah Yusuf (Gus Ipul) di Surabaya. Dikatakan Gus Ipul, pertemuan itu diadakan untuk menyikapi situasi paska pilpres. Masyarakat saat ini sudah tak ada lagi energi untuk berselisih, yang ada adalah semangat bersatu untuk membangun Indonesia, begitu imbuhnya.
Terpolarisasinya masyarakat menjadi 2 kubu terjadi tanpa kecuali, termasuk pada level kiai yang jadi panutan sekian banyak santri dan pengikut. Sehingga diharapkan pertemuan para kiai yang melabuhkan pilihannya pada kubu yang berbeda itu akan mencairkan suasana dan dapat menjalar ke akar rumput.
Meski tak dihadiri ketua umumnya, K.H. Said Aqil Siroj, pertemuan ini dipandang cukup penting karena di dalamnya hadir Rais Aam PBNU, K.H. Miftahul Akhyar serta kiai-kiai sepuh seperti K.H. Nawawi Abdul Jalil (Sidogiri), K.H. Anwar Mansur dan K.H. Abdullah Kafabihi (Lirboyo) serta K.H. Zaiduddin Jazuli dan K.H. Nuruh Huda Jazuli (Ploso).
Pada masa kampanye lalu, terutama di media sosial, banyak orang yang seolah membenturkan para ulama, habaib ataupun kiai yang berbeda pilihan. Tak terkecuali ulama NU.Â
Sebagian mengklaim NU garis lurus itu ya yang memilih Prabowo. Jawabanpun muncul dari mereka yang mendukung Jokowi. "Ikut NU kok mau bersanding dengan HTI yang jelas-jelas merongrong NKRI", begitu kira-kira.
Mereka yang menyajikan perbedaan ijtihad politik para kiai dan membela mati-matian satu pihak diikuti dengan mendiskreditkan pihak lain sepertinya kurang paham dengan tradisi berbeda pendapat di kalangan NU yang sudah sejak dulu terjadi.
Namun suasana menjadi cair saat istirahat dan diisi dengan jamuan makan. Kiai Wahab dan Kiai Bisri justru saling mendahului untuk melayani satu sama lain.Â
Ada cerita lain tentang bagaimana cara sesepuh NU untuk menyelesaikan sebuah perselisihan di antara mereka.
Saat terjadi peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, perbedaan pendapat hebat pernah terjadi antara K.H. Idham Chalid yang menjadi Ketua Umum PBNU dengan salah 1 ketua PBNU, Subhan ZE yang terkenal konfrontatip terhadap kebijakan Orde Lama maupun Orde Baru.
Tak kurang akal,Kiai Bisri akhirnya meminta santrinya untuk mengirimkan minuman kesukaan Kiai Idham yang dikatakan sebagai bingkisan dari Subhan ZE. Hal yang sama dilakulan kepada Subhan. Lalu sang santri diamanati untuk meminta tanda terima sebagai bukti.
Setelah itu,Kiai Bisri matur ke Kiai Ma'sum bahwa ke dua pentolan NU itu sudah berhasil didamaikan dengan bukti tanda terima dari "saling kirim"-nya mereka berdua. Padahal kedua kiriman itu adalah kiriman dari Kiai Bisri sendiri.
Dua kisah di atas saya dapatkan dari tulisan Katib PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf yang beberapa bulan lalu di-bully karena mau datang ke Israel untuk mengisi kajian di sebuah forum Yahudi.
Cerita-cerita senada dengan 2 kisah di atas banyak ditemui di kalangan NU. NU itu sebenarnya penuh dengan dinamika meski kelihatannya ndeso, tradisional karena kemana-mana sarungan.Â
Makanya, adalah sebuah kesalahan besar jika berpikir bisa memecah NU hanya karena masalah pragmatis, masalah politik seperti pilpres yang baru saja usai. Dan meski terjadi banyak perbedaan pandangan antara tokohnya, hingga kini NU tetap 1. Tak ada NU Perjuangan, NU garis lurus, NU mbah Hasyim, NU Said Aqil atau NU-NU-an yang lain.
NU itu ya memang begitu, mesti gayeng (rame, lucu, seru), kalau nggak gayeng berarti UN namanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H