Fatih hanya termangu, memandang nanar ke arah bukit di pinggiran kota dari sebuah jendela kaca. Pemuda 34 tahun itu merelakan dirinya untuk bergabung dengan milisi yang menamai dirinya Syubbanul Wathan. Sebuah nama yang dihidupkan kembali untuk mengingatkan para pemuda akan semangat patriotik yang disemai oleh seorang ulama yang disegani pada zamannya, seabad lalu. Semangat yang kini tersisihkan oleh banyak kepentingan pragmatis berbagai kalangan.
Siapa yang menyangka, perseteruan bersenjata yang biasa disajikan dalam berita-berita di televisi beberapa tahun lalu, kini merambah ke negeri pemuda itu.Â
Masih lekat dalam ingatan, cita-cita sederhananya untuk membuka sebuah bengkel di pinggiran kota, yang akan dijadikannya sebagai penjemput rejeki bagi keluarga kecilnya. Kini impian itu tertunda entah sampai kapan, atau memang Tuhan berkehendak untuk tidak mewujudkannya.
Perang adalah sebuah kata yang memiliki kesuraman di setiap sisinya. Angan-angan perdamaian yang sering terlintas di benak setiap orang yang mengalaminya terhalang oleh egoisme kelompok yang tengah beradu, tanpa melihat kepedihan yang dihasilkan oleh desingan peluru, ledakan mortir dan berdebumnya gedung-gedung yang hancur - rata dengan tanah.
Fatih bercerita kepada kami tentang seorang teman baiknya, sebelum perang berkecamuk. Mereka adalah teman bertukar pikiran yang saling mengerti satu sama lain. Mereka terpisah tak lama setelah kudeta dilancarkan. Tak tahu jalan untuk menemukannya, Fatih hanya berharap mereka bisa kembali bersua setelah perang usai.. syukur lebih cepat dari itu.
Dan harapannya terkabul. Beberapa bulan lalu, saat pasukan pemerintah berhasil merebut kembali sebuah kota dengan sokongan milisi yang masih setia pada fatwa mufti negeri, Fatih menemukan sahabat hilangnya.
Jantungnya berdegub kencang saat menemukannya tersandar di sebuah dinding bangunan dalam kondisi lunglai. Satu atau dua luka tembak terlihat di badannya. Fatih bersimpuh,terduduk dan mulutnya tak kuasa mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya sesak di dada yang dirasakannya. Sejurus kemudian, tangisnya pecah saat telapak tangannya menutupkan mata sahabatnya itu untuk selamanya.
Mereka yang dulunya bersahabat, akhirnya berdiri di 2 posisi yang berseberangan. Seorang dijuluki pemberontak dan yang lain disebut sebagai loyalis pemerintah.
Pada akhirnya dia berkata tentang negerinya padaku.Â
"Dulu, negeriku ini sama dengan negeri kalian. Banyak perbedaan.. namun kami sadar bahwa kebersamaan adalah yang utama. Akibat pergolakan politik, semua itu sirna. Kaum pemberontak menuduh pemerintah telah berbuat zalim, korup dan melenceng dari garisnya. Dan sebaliknya, pemerintah menolak tuduhan serta mengklaim bahwa ada sokongan asing untuk menggoyahkan stabilitas negara. Dan akhirnya terjadilah yang kau saksikan hari ini".