Pekan ini, salah satu topik perbincangan yang cukup panas, alot, penuh emosi dan yakinlah akan berujung pada dead lock adalah shalat Subuh berjamaah di Gelora Bung Karno.
Materi yang diangkat yakni keabsahan shalat tanpa mengindahkan positioning jama'ah pria dan wanita serta keabsahan melakukan shalat di area tribun yang penuh dengan tempat duduk.
Masalah detail mengenai dalil/hukum keabsahan dua kondisi tersebut tak akan kita bahas, biarlah para alim yang paham mengenai fiqih yang menjawabnya. Karena debat antara orang yang kosong ilmu tak akan menghasilkan apapun kecuali debat kusir.
Kabar selanjutnya adalah tentang munculnya edaran yang disebut sebagai Maklumat Panitia Subuh dan Munajat Kubro Untuk Kemenangan Capres & Cawapres Hasil Ijtima' Ulama.
Di dalam maklumat itu dinyatakan bahwa area tribun sebenarnya tidak diperuntukkan sebagai tempat shalat. Namun karena kurangnya koordinasi maka tribun pun digunakan oleh para peserta kampanye yang jumlahnya membeludak itu untuk melaksanakan shalat.
Dan akibatnya seperti yang kita lihat di video, mereka melaksanakan shalat dengan tak mengindahkan kesempurnaan rukun dan bahkan syarat sahnya. Sebutlah shalat dengan duduk di kursi tribun dan tak menghadap kiblat dengan semestinya. Entah karena bingung, tak tahu harus cari tempat dimana atau memang tak paham kalau shalat dengan duduk tanpa udzur syar'i itu tak boleh, akhirnya terjadilah apa yang tak boleh terjadi.
Untuk itu, panitia memaklumatkan kepada para peserta yang telanjur shalat di tribun untuk meng-qadla shalatnya. So, sudah fix bahwa shalat dengan cara seperti itu tidaklah sah adanya sehingga harus diulang.
Namun alih-alih mengakui kekeliruan itu, seperti biasa, pembelaan justru datang bertubi-tubi. "Shalat kok haram, shalat kok dikritik, lha itu kampanye pake dangdutan malah didiemin",begitu mereka bilang. Hal itu dilakukannya hanya karena pengkritiknya adalah orang lain di luar golongannya, tak sekubu dalam orientasi politik.
Padahal dengan berkata begitu justru nampak bagaimana mereka memandang kesalahan itu sebagai hal yang sepele padahal shalat adalah sebuah ritual mahdhah yang paling utama.
Selain itu, mengkomparasikan kegiatan mereka dengan mobilisasi massa kampanye melalui pentas dangdut justru dapat diartikan bahwa kubu 02 telah melakukan mobilisasi massa (baca : kampanye) dengan cara memperalat sebuah ibadah.
Mungkin kejadian itu cocok dengan ungkapan "Tuhan kok diajak kampanye"-nya Gus Mus.
Dan akibat dari itu, kedok mereka malah terbuka dengan sendirinya. Bahwa mereka terlihat begitu Islami, ya. Bahwa tak ada rumput yang mati dan sampah yang berserakan saat mereka berunjuk rasa, itu betul. Bahwa tak ada iming-iming materi agar datang ke acara mereka, kita akui.
Tapi untuk adilnya, harus diakui juga bahwa yang nampak agamis dari luar, tak selalu meresapi ajaran yang dibawa agama itu sendiri. Sebab dalam kasus lain, mereka justru melecehkan atau setidaknya tak memahami ajaran agamanya sendiri.
Dan akhirnya menurut saya, Monas masih lebih representatip jika digunakan untuk kegiatan serupa. Sepakat?
●●●
* Baca juga tulisan saya yang lain :
★ Akal Sehat Itu "Oportunistik"
★ Haruskah Bersikap Keterlaluan Hadapi Pilpres?
★ Maaf Pak Kwik, Anda Keliru..
○○○
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H